NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
24-07-2014 , Kamis Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 0,-
Dinar - Rp. 0,-
Dinarayn - Rp. 0,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 0,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 0,-
Dirham - Rp. 0,-
Dirhamayn - Rp. 0,-
Khamsa - Rp. 0,-
depok, 29 Mei 2012
Berakhirnya Modernisme Islam dan Restorasinya
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Tak terkecuali negeri-negeri Muslim turut terjebak dalam mengislamkan kapitalisme, yang berarti menundukkan Islam di bawahnya. Telah dimulai langkah merestorasinya.

Dari berbagai uraian buku [Ilusi Demokrasi, Republika, 2007] ini kita dapat melihat makna dan pengaruh modernisme atas kehidupan sosial politik kaum Muslimin. Modernisme yang berwujud dalam sistem negara fiskal, yakni integrasi demokrasi dan kapitalisme, terbukti merupakan instrumen menindas. Negara fiskal merupakan instrumen bagi 'Kekuatan Uang', jaringan bankir internasional untuk memperbudak hampir seluruh penduduk bumi, melalui jerat utang, baik utang publik maupun pribadi. Instrumen dasar dalam sistem ini adalah dipaksakannya pemakaian uang kertas, pengoperasian perbankan, serta penarikan pajak berlapis - secara ringkas pemraktekan sistem ribawi - yang haram di dalam Islam.

Dalam kungkungan kapitalisme ini kedaulatan nasional menjadi irelevan. Melalui negara fiskal penindasan berlangsung tanpa mengenal batas nasional, dilakukan oleh sekelompok elit oligarki bankir, terhadap seluruh umat manusia di muka bumi. Dengan trick utang negara oligarki bankir mencengkeram umat manusia, dan menjadikannya sebagai alat efektif untuk mengeruk kekayaan bangsa-bangsa korbannya. Utang negara dirancang untuk menjadi permanen, tidak pernah dimaksudkan untuk dilunasi, melainkan hanya terus-menerus dicicil. Dalam kasus Indonesia lebih dari 50% produk nasional tahunan dipakai hanya untuk mencicil utang ini, meninggalkan nasib rakyat yang semakin menderita.

Secara langsung bangsa-bangsa di seluruh dunia dipaksa menguras sumberdaya alamnya untuk mencicil utang. Aset-aset nasional dipaksa dijual kepada perusahaan-perusahaan swasta asing untuk kepentingan ganda, mencicil utang dan pengambilalihan aset nasional tersebut. Dana-dana untuk pelayanan sosial, yang semula menjadi salah satu kewajiban utama negara nasional, dipangkas juga demi kepentingan mencicil utang. Sebagai gantinya jasa-jasa layanan 'sosial' ini diambilalih oleh para bankir sebagai lahan investasi lebih jauh lagi.

Buku ini [Ilusi Demokrasi] juga memperlihatkan bahwa jebakan yang sama kini telah memerangkap kaum Muslim melalui gerakan pembaruan Islam.

Kasus Cape Town sebagai Ilustrasi
Studi kasus pada kaum Muslimin di Cape Town dalam buku itu memperlihatkan telah terjadinya asimilasi kehidupan kaum Muslim sepenuhnya ke dalam institusi kapitalis ini, dalam bentuk islamisasi. Pengelolaan zakat, sebagai satu teladan, sepenuhnya telah berubah menjadi instrumen negara fiskal, sebagai bagian dari insentif perpajakan, dan terintegrasi sepenuhnya pada perbankan. 'Zakat' ini tidak lagi sesuai dengan syariah Islam. Dua rukun zakat, tegaknya otoritas Islam dan penggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat pembayaran, telah ditinggalkan.

Sejak berakhirnya Daulah Utsmani pada tahun 1924, sebagai bentuk nomokrasi Islam terakhir, sampai saat ini, penarikan zakat praktis telah berakhir pula. Bekas wilayah Utsmani sendiri telah terpecah-pecah menjadi satuan-satuan negara nasional sekuler, dan tidak satupun di antaranya yang menegakkan rukun zakat. Sebagian umat Muslim di berbagai negeri berpenduduk Muslim ini kemudian mengambil inisiatif untuk mengangkat dirinya sebagai 'amil zakat'. Para amil ini kemudian mengumpulkan 'zakat' atas dasar kesukarelaan, dalam bentuk uang kertas dan melalui institusi perbankan. 'Amil-amil' zakat ini umumnya berbentuk organisasi-organisasi sedekah (charity organizations).

Hal tersebut mengakibatkan zakat, yang semula merupakan bagian dari urusan publik, telah berubah menjadi sedekah privat. Pengelolannya melalui organisasi-organisasi modern, yang tunduk dalam hukum positif nasional, mengakibatkan zakat terserap ke dalam otoritas dan sistem fiskal yang tidak relevan dengan otoritas sebagaimana ditentukan oleh syariah. Pengumpulan 'zakat' dalam sistem ini, yang ditawarkan sebagai insentif untuk pengurangan pajak negara, juga menjadi ironi tersendiri, sebab zakat sejatinya adalah pajak - dan satu-satunya pajak personal yang dibenarkan oleh Islam - itu sendiri. Tetapi, berbeda dari pajak dalam negara fiskal, ketentuan penarikan dan pemerataannya telah secara jelas diatur dalam syariah.

Kegiatan 'amil-amil' partikelir yang membenarkan uang kertas dan perbankan dalam urusan zakat ini juga mengakibatkan penyesatan umat, mengesankan seolah kewajiban zakat hanya pada harta mal. Harta-harta lain, yang boleh jadi nilainya lebih besar, seperti tetanaman, peternakan, hasil tambang, dan mata dagangan terabaikan, dan seolah tidak lagi memiliki kewajiban untuk dibayarkan zakatnya, setidaknya membuat umat melupakan tentangnya. Pemakaian perantaraan pembayaran melalui institusi perbankan juga menjadikan dana 'zakat' mengalami penimbunan dalam rekening-rekening bank, dan niscaya bercampuraduk dengan riba yang diharamkan. Namun demikian, di tengah arus besar modernisasi Islam ini, upaya untuk merestorasi pengelolaan zakat agar sepenuhnya kembali mengikuti syariah, dapat dan telah dilakukan.

Restorasi Syariah
Satu-satunya argumen yang mungkin diterima bagi pemakaian uang kertas sebagai alat pembayaran zakat adalah dalil darurah.

Tetapi dalil ini tidak menggugurkan ketetapannya, hanya bersifat sementara, dan hanya boleh digunakan - sesuai namanya - dalam keadaan terpaksa ketika segala upaya telah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak membuahkan hasil. Dalam hal keharusan adanya Dinar dan Dirham, [koin] emas dan perak, sebagai alat pembayar zakat, dalil darurah ini menjadi sangat lemah, dan praktis telah gugur. Sebab Dinar dan Dirham dengan mudah bisa - dan telah dicetak dan disediakan di berbagai tempat di dunia. Kevakuman otoritas di kalangan umat juga tidak bisa terus dibiarkan, dan menjadi kewajiban setiap muslim, untuk mengisinya sejauh yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi masing-masing.

Pembentukan jamaah dengan pola kepemimpinan dan tata kelola yang mengikuti hukum syariah, sebagaiman diteladankan oleh umat Islam di Cape Town [melalui pembentukan Amirat] , juga bisa - dan telah - dilakukan. Berbeda dari sistem politik negara fiskal yang merupakan mesin politik yang tidak accountable, tata pemerintahan dalam Amirat merupakan model Personal Rule yang lebih accountable. Dalam model Personal Rule ini, bila sang Pemimpin tidak lagi layak memimpin ia dapat digantikan dengan orang lain yang lebih pantas. Dalam System Rule, sebagaimana dalam negara fiskal, siapa pun yang memimpinnya di puncak piramida kekuasaan ia akan tetap menindas, karena sifat menindas ini inheren di dalam mesin politik itu sendiri.

Islamisasi struktur negara, menjadi 'negara Islam' atau 'konstitusi Islam' dan 'parlemen Islam', hanya akan menghasilkan konstruksi mesin kekuasaan - negara fiskal - yang sama menindasnya, kecuali embel-embel nama Islam di belakangnya.

Tegaknya otoritas dan pencetakan Dinar dan Dirham di bawah otoritas tersebut memungkinkan pelaksanaan rukun zakat sesuai dengan yang ditetapkan. Bentuk-bentuk Amirat, sebagaimana diteladankan oleh jamaah Muslim Cape Town, dapat - dan telah - diikuti oleh kaum Muslimin di berbagai tempat. Dengan terbentuknya Amirat sejumlah aspek lain dari syariah dapat turut ditegakkan, seperti pemakaian kembali mata uang Dinar dan Dirham, pengelolaan institusi kesejehateraan umat (Imaret dan Baitul Mal), pelaksanaan salat Jum'at, dan sebagainya. Upaya pengajaran tentang ihsan, melalui tariqah, yang memiliki sejarah panjang di Afrika Selatan, sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya restorasi syariah ini, juga dapat digairahkan kembali di mana pun.

Dalam konteks ini perlu ditambahkan, sebagaimana diuraikan oleh Shaykh Abdalqadir As-Sufi (2002) dalam bukunya Sultaniyya, konstruksi tata pemerintahan dalam daulah Islamiah selalu memperlihatkan kesatuan otoritas tata pemerintahan di satu sisi dan pengajaran tentang ihsan di lain sisi. Dengan kata lain adanya kesatuan yang utuh antara syariat dan haqiqat dalam praktik umat Islam sehari-hari. Fikih dan tassawuf berjalan bersamaan di kalangan umat Islam. Setiap sultan di masa Daulah Utsmani, misalnya, selalu didampingi oleh seorang mursyid.

Sebuah fakta yang juga diperlihatkan oleh Kesultanan Banten, di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, yang didampingi oleh Shaykh Yusuf. Demikian juga tata pemerintahan di Kesultanan Aceh dengan Shaykh Nurrudin al-Ranirri, Kesultanan Malaka dengan Shaykh Matebe Shah, dan boleh jadi juga di Ternate, serta berbagai Kesultanan lain di Nusantara, dengan masing-masing sultan dan mursyidnya. Pelajaran terpenting dari teladan yang ditunjukkan dalam amal oleh kaum Muslim di Cape Town adalah bahwa Islam, dan kaum Muslimin, memiliki jalan keluar dari persoalan mendasar umat manusia saat ini: penindasan oleh kapitalisme.

Amal Madinah sebagai Cetak Biru
'Amal (Penduduk) Madinah adalah cetak biru yang telah tersedia, dan kini dapat kembali dirujuk untuk direalisasikan dalam konteks zaman kini. Jalan pintas yang ditawarkan oleh sebagian kecil aktivis melalui radikalisasi - bahkan terorisme - yang kemudian dilabelisasi sebagai 'radikalisme Islam' sangatlah berbahaya, dan hanya mencerminkan sikap nihilistik para pelakunya. Pendekatan ini juga bertentangan dengan Islam itu sendiri, yang bermakna kedamaian. Sebaliknya, jalan belakang yang ditawarkan oleh sebagian kecil aktivis lain melalui modernisme, yang dilabelisasi dengan 'liberalisme Islam', telah berakhir dengan penundukkan Islam itu sendiri di bawah kekuasaan kapitalisme.

[Sementara itu] Konsep Negara Islam bermula dari Islam modernis. Pada dasarnya gagasan ini berakar dari ketidakmengertian total mereka [para pengusung gagsan negara Islam] atas watak masyarakat Barat dan konsep Negara modern sebagai sebuah tirani. Di sisi lain mereka juga tidak memahami watak tatanan masyarakat Islam yang sepenuhnya berdasarkan fitrah. Rasulullah menegaskan, 'Al-Islam deen al-fitrah.' Islam adalah Islam, tidak radikal, tidak liberal, tidak kiri dan tidak kanan. Tegaknya Islam adalah tegaknya muamalat, dan runtuhnya kapitalisme.

Pemakaian kembali Dinar dan Dirham artinya kembalinya pasar bebas islam, kembalinya qirad dan syirkah, kembalinya pemerintahan secara syariat, dan tegaknya kembali rukun zakat kita, seluruh bangunan islam kembali dan menandai keruntuhan kapitalisme ini.

*)Artikel ini merupakan bab Penutup pada buku Ilusi Demokrasi (Republika, 2007).

Dibaca : 2373 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO