NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
24-07-2014 , Kamis Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 0,-
Dinar - Rp. 0,-
Dinarayn - Rp. 0,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 0,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 0,-
Dirham - Rp. 0,-
Dirhamayn - Rp. 0,-
Khamsa - Rp. 0,-
Depok, 18 September 2012
Demokrasi Dan Otoritarianisme Kapital
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Dalam ulasan sebelumnya [buku Ilusi Demokrasi] telah disebutkan bahwa kehidupan umat manusia di dunia saat ini didominasi oleh kapitalisme.

Teknik dari kapitalisme adalah konstruksi negara fiskal. Dalam sistem ini negara memberikan hak monopoli kepada para bankir untuk mencetak uang kertas. Untuk keperluan itu mereka diberi izin untuk membentuk Bank Sentral. Sebagai imbalan mereka menyediakan kredit (utang) untuk keperluan 'pembiayaan negara' (tepatnya: proyek-proyek). Kita semua, tiap-tiap individu warga negara, kemudian dipaksakan menjadi jaminan atas pengembalian utang-ribawi tersebut, melalui pemajakan.

Pajak itu sendiri, sebagaimana akan dibahas lagi di bawah nanti, terdiri atas dua jenis yaitu pajak langsung yang ditarik secara tunai dari harta warga negara dan pajak tidak langsung (inflasi dan seignorage) yang secara riel dirasakan sebagai terus-menerus turunnya nilai tukar mata uang kertas. Ini berarti naiknya harga-harga komoditas dari waktu ke waktu.

Tiap-tiap tahun birokrasi negara-artinya orang-orang yang Anda pilih melalui Pemilu - menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), untuk pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, pertahanan, dan sebagainya), dengan sejumlah tertentu untuk dibayarkan kepada 'kekuatan penyandang dana'. Negara menjamin kepada para bankir atas (pengembalian) utang ini dari pembebanan pajak kepada warga negara. Para bankir, tentu saja, dengan sangat mudah memenuhi kebutuhan biaya tersebut, berapa pun nilainya, dengan cara mencetak kredit ex nihilo: mencetak angka-angka dalam buku atau sebagai byte dalam layar komputer. Dari sinilah kita disodori suatu trick yang dikenal sebagai 'Utang Negara' (Public Debt). Kalau bukan Bank Sentral negara nasional besangkutan sendiri maka jaringan perbankan internasional akan mengambilalih perannya sebagai financier tersebut.

Utang negara memberikan legitimasi bagi pemerintah yang berkuasa untuk memajaki rakyat. Mekanisme ini merupakan modus yang inherent di dalam negara konstitusional, demokrasi ataupun bukan. Fungsi utama konstitusi adalah memastikan tiap-tiap individu warga negara ini sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain, lewat konstitusi inilah, warga negara dijaminkan dalam utang-piutang yang dilakukan oleh para pengelola negara, kepada pihak perbankan. Di sanalah bercokol kepentingan-kepentingan oligarki bankir yang mengendalikan keberlangsungan sistem ini. Negara fiskal dunia mencerminkan kapitalisme lanjut dan nihilisme, yakni terceraikannya otoritas dan lokasi, yang berimplikasi pada irelevannya negara bangsa dan kedaulatan nasional. APBN semata-mata menjadi wadah bagi penyaluran investasi para bankir ini.

Dalam konstruksi struktural (konstitusionalisme) semacam itu kapitalisme telah menjadi ortodoksi dalam kehidupan semua umat manusia saat ini, termasuk di kalangan Muslimin. Kapitalisme, di tengah ideologi 'kebebasan dan persamaan agama-agama', sesungguhnya telah menggantikan agama-agama tersebut. Kapitalisme telah menjadi agama itu sendiri, dan menunjukkan dirinya sebagai agama yang paling dogmatis, intoleran, dan otoriter. Agama-agama yang sebenarnya justru dipandang sebagai penghambat utama kapitalisme. Mereka harus ditundukkan demi kapitalisme. Di kalangan Islam tujuan ini hendak dicapai melalui gerakan pembaruan Islam.

Dalam konteks ini ada slogan eufemistik yang acap disebut oleh para pengamat sebagai 'fundamentalisme pasar'. Ini menggambarkan watak ortodoksinya di satu sisi, tapi juga sebuah abstraksi yang samar-samar di lain sisi. Siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan 'pasar' yang fundamentalistik tersebut? Kita tentu memerlukan jawaban yang jelas mengenai sosok ini.

Fundamentalisme Kekuatan Uang
Jean-Christophe Rufin menyebut suatu kekuatan baru ini sebagai invisible political hand (tangan-tangan politik tersembunyi). Rufin, seorang dokter aktivis Perancis, mantan Direktur LSM Medecins sans Frontiers (Dokter-tanpa-Batas), mengatakan hal ini dalam bukunya La Dictature Liberal (Diktator Liberal). Kekuatan tersembunyi tersebut, dalam kultur liberal yang kini dominan, telah berhasil memastikan terceraikannya masyarakat dari sistem. Rufin menjelaskan bahwa sistem tersebut, dengan mekanisme politik dan ekonominya, dibuat sesedikit mungkin menganggu aktivitas manusia dan setiap peristiwa sosial. Sementara aktivitas-aktivitas tersebut, di lain sisi, seberapa pun bebasnya, harus tidak boleh mengancam perangkat yang memungkinkan sistem tersebut untuk dapat terus bekerja. Selanjutnya Rufin, sebagaimana dikutip oleh Rieger (2005), mengatakan bahwa sistem ini dicirikan oleh ketidakpeduliannya yang dingin atas umat manusia. Ia mengatakan:
Pada pengertian tertentu budaya demokrasi dibangun atas ketidakacuhan ganda. Yang pertama adalah ketidakacuhan sistem liberal ini atas umat manusia di dalamnya. Sistem ini, terutama aspek ekonominya, menjadi semakin meng-internasional dan supra-nasional, dan karenanya semakin sulit dikontrol. Manusianya, sebaliknya, hanya dapat mengekspresikan pilihan politiknya pada tingkat nasional atau lokal-yaitu, tanpa dapat menyentuh sumber kekuatan sebenarnya dari sistem ini.
Pemisahan antara realitas nasional-yang, suka atau tidak, adalah ranah tempat kontrol secara demokratis dapat dilakukan-dan realitas supra-nasional tempat keputusan-keputusan penting sebenarnya dibuat, adalah pilar utama otonomi kultur liberal. Hal ini memberikan beberapa keuntungan. Misalnya, hal ini membuat sistem ekonomi bebas dari kontrol demokratis. Ini juga memungkinkan protes politik dapat terus dikekang, dengan dibatasinya hanya pada wilayah nasional.
Lepasnya kekuatan ekonomi (baca: kapitalisme) dari kemungkinan pengontrolan oleh kekuatan politik ini, paralel dengan terminologi nihilisme dari Carl Schmitt, seorang pemikir hukum dari Jerman. Nihilisme ia beri makna 'pemisahan pemerintahan dari lokasi' (separation of order from location). Wujud dari nihilisme ini adalah 'Negara Dunia', yang tak lain adalah sistem Kapitalisme Global. Oleh filosof lain dari Italia, Antonio Negri, negara dunia didefinisikan sebagai 'kekaisaran dengan pusat yang tak dapat dikenali'. Selanjutnya Negri dan Hardt (2003) juga mengatakan bahwa 'kekaisaran global' ini berwatak monarkis dan aristokratik: ada di tangan segelintir elit, yakni 'the invisible political hand' dalam istilah Rufin di atas.

Walapun harus diberi catatan di sini istilah 'monarkis dan airtokratis' ini berbeda dari pengertian klasiknya, yang bermakna kelas aristokrat berbasis aset (tanah). Sebab justru kelas bangsawan inilah yang semula memegang kekuasaan politik yang kemudian digusur oleh kelas politik baru, yang oleh Helairie Beloc, sejarahwan Inggris, disebut sebagai 'Money-Power' (Kekuatan-Uang) itu. Money Power adalah istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan kekuatan tersembunyi ini, sebagai sebuah Oligarki (oligos = sedikit, archy = kekuasaan).

Pertanyaan yang masih harus dijawab adalah: siapakah sang 'oligark' pemilik 'tangan-tangan politik tersembunyi' ini? Tidak satu pun buku teks ilmu politik maupun para profesor yang mengajarkannya di universitas-universitas, termasuk Negri, serta Rufin, yang memberikan titik terang tentang hal ini. Tapi di tangan ulama asal Skotlandia, Syekh Abdalqadir As-Sufi, pertanyaan tersebut dijawab dengan gamblang. Dalam bukunya Technique of the Coup de Banque ia mengatakan dengan gamblang bahwa dunia saat ini berada di bawah kendali 'the invisible hand' yang terbentuk dalam sejarah panjang Eropa, yakni para para pemakan riba: Oligarki Bankir.


Bukti awal dari konstatasi tersebut adalah bahwa dalam konstruksi negara fiskal Bank Sentral dipisahkan dari (kewenangan) politik pemerintah. 'Independensi Otoritas Moneter' adalah mantra yang digunakan untuk hal ini. Di Indonesia, misalnya, atas tekanan IMF, telah diterbitkan Undang-undang Bank Sentral baru pada Mei 1999, yang mengatur bahwa Gubernur BI tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah dan tidak duduk dalam Kabinet. Maka, terpetiklah berita-berita dengan kepala berita semacam ini, Pemerintah Ikuti Aturan Perbankan, yang membuktikan bahwa kapital telah mengendalikan politik, dan bukan sebaliknya.

Hal ini persis seperti yang diindikasikan oleh Rufin di atas, bahwa keputusan penting yang sebenarnya-yang terjadi pada tingkat supra-nasional - tidak lagi dapat dikontrol pada tingkat nasional oleh pemerintah. Demokrasi, di sini, memperlihatkan karakteristiknya sebagai 'politik tanpa otoritas'. Gambaran skematis mesin kekuasaan negara fiskal dapat dilihat pada Diagram di bawah.

Kita lihat institusi paling penting dalam negara fiskal, Bank Sentral, ini secara lebih jauh. Bila dibedah lebih dalam, di sejumlah negara utama, seperti AS (Federal Reserve of America) atau Inggris (Bank of England), dan berbagai negara lainnya, kita akan mengetahui bahwa bank-bank sentral bahkan sejak awal berdirinya sepenuhnya dimiliki oleh pribadi-pribadi (perusahaan swasta)! Kebanyakan warga negara AS atau Inggris sendiri bahkan tidak memahami fakta ini.

Politik demokratis dalam zaman modern ini telah diredusir dari suatu pemerintahan (governance) menjadi semata-mata front politik para bankir. Demokrasi menjadi sistem politik tanpa kekuasaan. Pemerintahan demokratis, seperti halnya Raja Louis XIV dan penerusnya, sebagaimana akan diperlihatkan di bagian lain [buku Ilusi Demorkasi] nanti, tak lebih dari sekadar 'pemerintahan boneka'. Dalam versi dan konteks yang berbeda, kita dapat mengambil contoh keputusan Federal Reserve AS atas tingkat suku bunga di negeri tersebut, selalu membrikan pengaruh sangat besar bukan saja pada situasi ekonomi dunia, tapi juga kebijakan nasional suatu negara.

Penting untuk dipahami bahwa yang menjadi persoalan di sini bukan pada orang, atau kelompok orang, baik yang telah disebutkan nama-namanya di sini maupun yang belum, tetapi sistem yang beroperasi ini sendiri. Kapitalisme, dalam perspektif Islam maupun dari nilai-nilai kemanusiaan, adalah suatu Kriminalitas (dengan K besar). Yang kita nilai di sini adalah inti persoalannya ini, yakni prosedur dan metodologi sistem ini, yang menghasilkan penderitaan bagi sebagian besar umat manusia di dunia.

Pada jantung sistem ini kita temukan riba yang didukung oleh sistem pajak yang dipaksakan kepada rakyat oleh negara. Kritik Islam terhadapnya adalah: keduanya, riba dan pajak, dilarang oleh hukum syariah. Siapa pun yang berada di dalam puncak piramida sistem ini-kaum Yahudikah, Kristen, atau bahkan Muslim sekalipun-tidak relevan. Faktanya adalah Kejahatan ini terus dilestarikan, maka Kejahatan inilah dan bukan penjahatnya, yang menjadi perhatian kita. Kejahatan itu sistemik dan struktural, yang berwujud dalam negara fiskal, yakni integrasi kapitalisme dan demokrasi yang didasarkan kepada konstitusionalisme.

Syekh Abdalqadir (2000:81) mengungkapkan esensi fungsi negara modern ini, sebagai berikut:
Di bawah hegemoni kekuatan finansial baru ini dapat dikenali fungsi Negara Nasional, dan dokumen-penentu kewarganegaraan, Konstitusi, yang sebenarnya. Kewarganegaraan dalam negara demokrasi menjamin, sebagaimana ditunjukkan oleh Anatole France lebih dari seratus tahun lalu dalam novelnya 'Penguin Island', bahwa demi kehormatan [status kewarganegaraan] ini Anda masuk daftar Sensus Nasional.
Tujuan Sensus adalah untuk memastikan ketaatan Anda dalam sistem pajak Negara. Ini merupakan catatan tentang kerja keras Anda sebagai jatah untuk menanggung beban Utang Nasional Negara. Dalam tiap tahap kehidupan Anda membawa di atas pundak Anda bukan saja beban utang yang Anda punyai, dalam keadaan baik atau buruk, yang Anda ambil sendiri, tetapi juga menanggung beban sejumlah besar utang hasil kesepakatan, belanja, program, dan bahkan perang, yang tak satupun Anda ikut menyetujuinya.
Dari sejak sangat awal, ketika pertama kali dimulai, terutama menjelang dan beberapa saat setelah Revolusi Perancis, sampai detik ini utang negara atau utang nasional menjadi sumber hilangnya kebebasan individu warga negara. Pada saat yang sama, bagi para kapitalis, ia merupakan instrumen pemupuk kekayaan yang tiada terbatas.

*) Dinukil dari buku Ilusi Demokrasi (Republika, 2007), dapat diperoleh di kios WIN atau DinarShop.com.

Dibaca : 2883 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO