NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
24-07-2014 , Kamis Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 0,-
Dinar - Rp. 0,-
Dinarayn - Rp. 0,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 0,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 0,-
Dirham - Rp. 0,-
Dirhamayn - Rp. 0,-
Khamsa - Rp. 0,-
Depok, 31 Januari 2012
Lebih Dekat dengan Kesultanan Sulu
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Kesultanan Sulu telah terlahir kembali sebagai Darul Islam, segera menerapkan Dinar Dirham dan Fulus.

Kesultanan Sulu berada di sebuah Pulau Kecil, tak jauh dari Kalimantan Utara, yang merupakan bagian dari Nusantara. Wilayah Nusantara sendiri aslinya meliputi Kesultanan Pattani (Thailand Selatan), sejumlah Kesultanan di Semanjung Malaysia (saat ini tersisa Sembilan Kesultanan), Kesultanan Tumasik, sejumlah Kesultanan di Kepulauan Indonesia, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Sulu sendiri, yang kini menjadi bagian dari Filipina Selatan.

Berdirinya Kesultanan Sulu berlangsung hampir bersaman dengan berdirinya Kesultanan lain di wilayah ini, yaitu di abad ke 13 M. Kesultanan Sulu Darul Islam lahir 24 Jumadil Awwal 808 H (17 November 1405). Pendirinya adalah Sayyid Abu Bakar, seorang keturunan Nabi Muhammad SAW yang datang dari Hadramaut.

Sayyid Abu Bakar menikahi Dayang Paramisuli, putri Raja Baguinda, pangeran Sumatra yang memimpin umat Islam awal di Sulu. Sepeninggal Raja Baguinda, Sayyid Abu Bakar lebih jauh mengislamkan penduduk lokal dan mempersatukan mereka jadi sebuah bangsa, dikenal sebagai Banga Tausug. Sebuah Kesultanan Islam pun berdiri. Sultan Sulu I ini bergelar Paduka Mahasari Maulana Al-Sultan Sharif ul-Hashim.

Kesultanan Sulu Darul Islam
Sepanjang sejarahnya Kesultanan Sulu tegak sebagai Daulah Islam, meski kini berada alam wilayah Republik FIlipina. Berbagai perjanjian internasional di masa lalu, termasuk dengan Brunei, Cina, Belanda, dan Amerika Serikat, membuktikan hal ini. Salah satu bukti empiris kedaulatannya adalah fakta bahwa Kesultanan Sulu tidak pernah berperang melawan AS, saat AS merebut tanah jajahan di wilayah ini dari Spanyol. Sesudah mengalahkan Spanyol, AS berperang melawan gerakan nasional Filipina, dipimpin Presiden Emilio Aguinaldo, yang berakhir pada kekalahan Filipina, dan menjadikannya jajahan AS.

Melalui beberapa perjanjian antara Kesultanan Sulu (di bawah Sultan Jamal ul-Kiram I dan Sultan Jamalul Kiram II), dan Pemerintah AS, Kesultanan Sulu diakui berdaulat. Peta resmi Kerajaan Spanyol, 1882, pun memperlihatkan sebuah negeri berdaulat, Sultaniya de Jolo (Sulu), dengan Sabah sebagai bagian wilayahnya. Namun meski selama 400 tahun itu tidak pernah jadi bagian wilayah jajahan bangsa mana pun, Perjanjian Paris (10 Desember 1898), secara sepihak menyatakan bahwa Sulu dijual oleh Spanyol kepada AS sebagai pemenang. Perjanjian ini membuka pintu invasi militer AS ke Kesultanan Sulu, 19 Mei 1899, tapi tak mengalahkannya. Kekuasaan AS secara sepihak menyatukan Kesultanan Sulu dan Magindanao, sebagai satu wilayah. Sementara Sabah dijadikan bagian dari wilayah Malaysia.

Belakangan, dalam masa transisi kekuasaan AS kepada pemerintahan nasional Filipina, Sultan Jamalul Kiram II, 9 Juni 1921, mengajukan petisi agar Kepulauan Sulu dijadikan Wilayah Permanen AS. Sebuah petisi lain menyusul, Deklarasi Hak dan Tujuan, 1924, menyatakan keinginan rakyat Sulu untuk secara permanen menjadi bagian dari teritori AS atau sebagai 'kesultanan independen dengan sebutan Bangsa Moro�. Maret 1935, para pemimpin Sulu mengeluarkan Deklarasi Dansalan dengan tegas menolak aneksasi Tanah Moro oleh Republik Filipina, yang disiapkan kemerdekaannya (dinyatakan merdeka oleh AS 1946).

Tahun 1936 Sultan Jamalul Kiram II, Sultan Sulu terakhir, mangkat tanpa meninggalkan putra mahkota. Terjadilah kekosongan pemimpin. Awal 1970an kemudian muncul episode perlawanan milisi bersenjata, yang dikenal sebagai perjuangan Bangsa Moro, yang berakhir dengan Otonomi Khusus Muslim Mindanao (1996). 'Rakyat Sulu mendukung Nur Misuari karena semula memiliki aspirasi sama: mengembalikan Daulah Islam Sulu. Itu yang kami tuju, bukan otonomi di bawah kuasa Katolik, Republik Filipina,' ujar Datu Albi Zulkarnai, salah satu Datu di Sulu. Cita-cita Bangsa Tausug selalu adalah mengembalikan Kesultanan Islam Sulu - dengan sebutan yang juga tak pernah berubah Kesultanan Sulu Darul Islam.

Sebutan 'Bangsa Moro' sesungguhnya mengacu kepada beberapa etnis Muslim yang berbeda. Bangsa Moro setidaknya terbagi dua etnis besar, Bangsa Tau Sug, yang mukim di Kepulauan Sulu, dan Bangsa Mindanao, yang mukim di sebagian besar P Mindanao, di sebelah utaranya. Keduanya merupakan Kesultanan Islam yang terpisah (Sulu dan Magindanao). Di luar dua etnis utama ini masih ada berbagai etnis lain, Yakan, Kagayan, Iranum, Kalibungan, serta Suku Bajo, yang sebagian juga hidup di wilayah Malaysia dan Indonesia.

Kondisi Terkini
Saat ini ada sejumlah pihak yang mengklaim sebagai Sultan Sulu yang sah, tapi kebanyakan tidak mendapat pengakuan rakyat. Bangsa Sug berpegang teguh kepada suatu Taritib (protokol) pemerintahan yang disusun oleh Sultan Sharif Hashim sendiri sebagai dasar legitimasi seorang sultan dan Tarsilah (Silsilah) yang sah. Di sini dinyatakan 'tidak ada seorang Datu pun yang dapat menjadi seorang Sultan Sulu kecuali yang bersangkutan merupakan keturunan sah sebagaimana ditunjukkan secara geneaologis dalam pohon keluarga yang disebutkan dalam Tarsilah.'

Sultan Sulu Darul Islam yang saat ini diakui oleh rakyatnya adalah Paduka Batara Mahasari Maulana Al-Sultan Muhammad Bantilan Muizzuddin II Bin Datu Wasik Aranan Puyo. Ia didampingi oleh pimpinan pemerintahan harian, yaitu Puntukan Mantiri atau Perdana Menteri, Datuk Habib Sattiya Amilhasan. Berbeda dari sejumlah 'Sultan' yang mengklaim dirinya berhak atas Sulu, yang hidup dalam keglamoran, Sultan Bantilan Muizzuddin II, sangatlah bersahaja. Ia hidup bersama rakyat kebanyakan, yang umumnya sangat miskin, akibat dari perlakuan Pemerintahan Filipina, yang abai atas nasib Bangsa Tausug.

Sultan Muizzudin II didaulat sebagai Sultan pada 19 Maret 2009, sebelumnya namanya adalah Datu Ladjamura bin Datu Wasik Aranan. Pada 17 November 2010 rakyat Sulu telah kembali menegaskan dan menyatakan diri sebagai kesultanan merdeka, Kesultanan Sulu Darul Islam, dengan kota Jolo sebagai ibu kotanya. Dalam pertemuannya dengan Shaykh Umar Vadillo awal tahun 2012 Sultan Muizuddin II telah menyatakan bahwa Kesultanan Sulu akan meninggalkan uang kertas dan kembali kepada tradisi pisita atau kusing, yaitu koin-koin, dublun (emas) dan pilak (perak). Tidak lain itu adalah Dinar emas dan Dirham perak. Ditambah dengan alat tukar recehannya Fulus.

Dalam menerbitkan Dinar, Dirham dan Fulus ini, Kesultanan Sulu akan mengikuti standar World Islamic Mint (WIM). Kepeloporan Kesultanan Sulu dalam menerapkan muamalah di atas sekaligus akan kembali menyatukan Nusantara.

One Ummah, One Currency.

Dibaca : 5221 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO