NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
25-06-2014 , Rabu Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 1.032.500,-
Dinar - Rp. 2.065.000,-
Dinarayn - Rp. 4.130.000,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 11.600,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 35.000,-
Dirham - Rp. 70.000,-
Dirhamayn - Rp. 140.000,-
Khamsa - Rp. 350.000,-
Jakarta, 04 September 2013
Melongok Imaret Sultan Muhammad Al Fatih
Irawan Santoso - Mahkamah (www.mahkamah.co)
Di era Utsmaniyah, para sultan berlomba-lomba membangun imaret. Seluruh kota di Istanbul dipenuhi dengan Imaret, yang berfungsi untuk umat.


Pasca medio Mei 1453, ketika Konstantinopel berhasil ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah komando Sultan Muhammad Al Fatih, kota itu pun berubah total. Sebelumnya Konstantinopel merupakan ibukota Kekaisaran Romawi. Sultan Al Fatih dan pasukan Islam ketika itu, kemudian mengepung kota itu selama 59 hari. Pengepungan itu dilakukan juga karena adanya janji Rasulullah, shallalahu 'alayhi wa sallam, bahwa kota itu akan jatuh ke tangan umat Islam.


Ketika perang Qhandaq, di abad 6 lalu, kala melakukan penggalian parit, Rasulullah sempat ditanya oleh seorang Sahabat, "Ya Rasul, kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu? Roma atau Konstantinopel?" Rasulullah kemudian menjawab, "Kotanya Heraklius yang akan takluk terlebih dahulu" (HR Imam Ahmad).

Kemudian di hadist lain, Rasulullah juga bersabda "Suatu saat kalian pasti akan menaklukkan Konstantinopel. Di tangan dialah sebaik-baiknya pemimpin dan di tangan dialah sebaik-baiknya pasukan." (HR Imam Ahmad). Nah, sabda Rasul itu kemudian benar-benar terbukti. Tahun 1453, Sultan Al Fatih memimpin ekspedisi penaklukkan Konstantinopel itu. Setelah jatuh di tangan Islam, dia kemudian mengubah nama kota itu menjadi "Islambol". Tapi sejak Kekhilafahan tumbang, 1924, kota itu diubah namanya menjadi "Istanbul".


Namun menariknya, kala di era Sultan Al Fatih, Istanbul berubah total. Di kota itu, dipenuhi dengan bangunan-bangunan berupa Imaret. Ini adalah tanah perwakafan yang berisikan berbagai fasilitas umum.


Imaret menjadi ciri khas kesultanan Utsmaniyah, karena sesama pejabatnya saling berlomba untuk membuatnya. Di era Sultan Al Fatih, dia juga mendirikan Imaret yang tak sedikit. John Freely, seorang peneliti asal Amerika Serikat, mencatat dengan apik bagaimana Imaret yang dibangun oleh Sultan Al Fatih itu.

Freely menukiskan, "Sepuluh tahun setelah penaklukkan (1463), Fatih kemudian membangun sebuah kompleks masjid besar. Masjid itu dikenal sebagai Fatih Camii (bahasa Turki-red), menjadi pusat sebuah kulliye yang luas, atau kompleks institusi religius dan filantropis, yang bersama-sama membentuk sebuah vakif, atau lembaga amal.


Disamping masjid besar, kulliye Fatih Camii terdiri dari delapan madrasah (sekolah) dan ruangan tambahannya, dengan sebuah klinik (tabhane), dapur umum (imaret), rumah sakit (darussifa), penginapan (caravanserai), sekolah dasar (mektep), perpustakaan (kutuphane), pemandian umum (hamam), pasar terbuka (carsi), dan pemakaman dengan dua turbe (kuburan), salah satunya kemudian menjadi tempat peristirahatan Al Fatih. 



Fatih Camii dan kuliye besar lainnya menjadi pusat sosial di kota Muslim, yang terbagi menjadi tiga belas nahiye (distrik), masing-masing dibagi menjadi lingkungan (mahalle). Masing-masing nahiye, diberi nama mengikuti kompleks masjid yang menjadi pusatnya, seperti Aya Sofia Camii, Mahmud Pasha Camii dan Fatih Camii. Yang terakhir ini adalah distrik terbesar di kota itu dengan empat puluh satu nahalle (lingkungan).

Fatih Camii memiliki semua fasilitas untuk sebuah pusat sosial. Selain masjid dan madrasahnya serta institusi keagamaan dan filantropi, ia juga memiliki pasar besar dengan 280 toko, 32 ruangan kerja, dan empat gudang. Pendapatan dari semua ini menopang kulliye yang lainnya.

Fatih kulliye juga memiliki carsi lain yang dikenal sebagai Sarachane (Pasar pelana), dengan 142 pembuat pelana diperkerjakan di tempat itu. Banyak diantara mereka berasal dari kesatuan Janisari, pasukan elit Utsmaniyah.

Selain itu, Fatih juga mendirikan sebuah kompleks Imaret lain di Eyup (wilayah pemakaman Ayub al Anshari), Cosmidian Kuno, di luar tembok daratan kota di bagian atas Tanduk Emas. 



Memang di era Utsmaniyah, tradisi membangun Imaret itu sudah menjadi darah daging. Dalam catatan Prof. Mehmed Magsodoglu, peneliti asal Inggris, dia menguraikan bahwa dalam praktek keluarga Utsmaniyah, tidak hanya para penguasa tetapi juga sadrasama (wazir kepala), wazir, berlebeys, sanjakbeys dan orang-orang berpunya muslim berlomba satu dengan yang lain dalam menyumbangkan wakaf.

Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa sepanjang orang yang mendapat manfaat dari wakaf masih ada dari setiap wakaf akan terus mengalir pahalanya sampai Hari Kebangkitan. Dalam dokumen wakaf juga dicantumkan ancaman kutukan Allah dan Rasulullah bagi mereka yang mencoba mengubah dan memutar balik keputusan atas wakaf.

Dibaca : 2841 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO