NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
24-07-2014 , Kamis Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 0,-
Dinar - Rp. 0,-
Dinarayn - Rp. 0,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 0,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 0,-
Dirham - Rp. 0,-
Dirhamayn - Rp. 0,-
Khamsa - Rp. 0,-
Depok, 21 Oktober 2012
Memahami Muhtasib dan Pencetakan Dinar Dirham
H. Zaim Saidi - Pimpinan Baitul Mal Nusantara
Dalam kitabnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membahas fungsi dan peran Muhtasib dan pencetekan Dinar dan Dirham.

Kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun merupakan kitab klasik yang wajib menjadi salah satu rujukan bagi kaum Muslim. Isinya sangat luas, merangkum berbagai cabang ilmu dan pengetahuan kehidupan manusia dalam rentang waktu yang panjang. Di dalam kitab ini, Ibnu Khaldun membahas berbagai topik seperti sejarah, geografi, matematika, agama, tata pemerintahan dan politik, model ekonomi, pendidikan , dan sebagainya, yang dijalankan oleh umat Islam di masa lalu.

Namun demikian, membaca buku Muqaddimah, haruslah dengan perpektif yang tepat, bukan sekadar melihatnya sebagai catatan sejarah masa lalu. Kitab ini justru sangat penting dan relevan bagi Umat Islam kini, dan dalam merancang kembali masa depan Islam, di masa gelap - ketika Islam hilang dari muka bumi, digantikan sepenuhnya oleh kapitalisme sebagaimana kita jalani hari ini. Pasar Terbuka
Satu hal yang sangat mendasar dan penting yang dapat ditemukan dalam kitab Muqaddimah adalah pernyataan Ibn Khaldun bahwa kemajuan suatu masyarakat, selain karena jumlah dan keragaman anggotanya, ditandai oleh dinamika pasar-pasarnya. Masyarakat yang maju ditandai oleh dinamisnya pasar, atau suq, dan sebaliknya matinya pasar-pasar menandakan kemunduran masyarakat. Hal ini sangat bisa dimengerti karena aktifnya pasar menunjukkan produktifitas dan pemerataan kemakmuran. Keberadaan pasar sendiri merupakan salah satu sunnah terpenting yang diteladankan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam sejak awal pembentukan masyarakat Muslim di Madinah al Munawwarah.

Dua institusi pertama yang dibangun oleh Rasul sallalahu alayhi wa sallam sesudah berhijrah ke Madinah adalah masjid dan pasar, dan Rasul menyatakan: 'Sunnahku di Pasar sama dengan sunnahku di Masjid'. Keduanya merupakan institusi publik, sarana umum yang tidak boleh dimiliki secara pribadi, dan harus terbuka untuk setiap orang, tidak boleh ada sekat-sekat permanen, serta tidak boleh ada pembebanan sewa maupun pajak. Dalam tradisi Islam pasar juga 'bergerak', berpindah-pindah tempat, seperti di Jawa misalnya dikenal 'hari pasaran', Pahing, Pon, Wage, Keliwon, dan Legi, sebagai cara lain meratakan kemakmuran.

Kalau umat Islam kembali menjalankan sunnah di pasar ini saja sudah merupakan sebuah tindakan perubahan luar biasa atas sistem kapitalisme- riba saat ini. Ketertutupan akses kepada pasar telah menimbulkan monopoli, yang pada gilirannya mematikan produksi. Etika perdagangan juga rusak. Kecurangan, dan riba, merajalela.

Terkait dengan pasar terbuka ini Ibnu Khaldun membahas peran pengawasan yang menjadi kewajiban pemerintahan Islam, yang dipegang oleh para muhtasib, yang ditunjuk oleh para Amir atau Sultan. Ketika kekhalifahan telah tegak di bawah sang khalifah.

Peran Muhtasib
Ibnu Khaldun membahas topik Muhtasib ini dengan menyatakannya sebagai bagian dari tugas keagamaan dan masuk dalam bab amar makruf nahi mungkar,yang menjadi kewajiban para amir atau sultan. Tugas ini harus dijabat oleh orang yang berkompetensi untuk melaksanakannya, sehingga orang yang diangkat ini bertanggung jawab atas kewajiban tersebut.

Dalam pelaksanaan tugasnya ini, seorang Muhtasib bisa didampingi oleh beberapa pendamping untuk menyidik para pelanggar hukum, menginterogasi, dan memberikan penyadaran hukum sesuai kemampuannya. Orang-orang yang ditunjuk untuk menduduki jabatan ini bertugas menjaga kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum di daerah perkotaan. Cakupannya termasuk mencegah terjadinya kemacetan jalan, melarang dan mengawasi kendaraan angkutan yang melebihi beban muatan. Merupakan kewenangan Muhtasib juga adalah menentukan kelayakan konstruksi suatu bangunan, terutama bangunan yang dikhawatirkan akan runtuh. Muhtasib berhak memerintahkan penghancuran dan penghilangan bagian-bagian yang dianggap mengancam keselamatan masyarakat umum.

Muhtasib juga berwenang mengawasi sekolah dan kantor pemerintahan agar tidak melanggar kepentingan masyarakat. Para guru di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor pemerintahan harus diawasi, misalnya, agar tidak berlebihan memukul anak-anak yang sedang belajar. Kewenangannya tidak terbatas pada saat terjadinya keributan atau permusuhan,tapi mengawasi dan mengontrol keadaan yang dalam pandangannya dapat menyebabkan kerusuhan, dan yang dilaporkan padanya.

Jadi, kewenangan seorang Muhtasib cukup luas. Namun ia tidak berwenang memberikan keputusan hukum sama sekali dalam berbagai persoalan, kecuali dalam urusan penipuan dan pemalsuan timbangan dan takaran di pasar. Seorang Muhtasib juga berkewajiban memaksa orang-orang yang enggan membayar utang untuk membayarnya dan urusan-urusan sejenisnya, tanpa harus mendengarkan keterangan dan tidak pula keputusan hukum. Pejabat Muhtasib ini bertugas menyelesaikan urusan yang tidak perlu sampai pada hakim pengadilan karena sifatnya yang umum dan mudah diselesaikan. Karena itu, urusan-urusan semacam ini diserahkan kepada pejabat terkait dengan masalah ini agar langsung diselesaikan. Dalam konteks ini, kedudukannya sebagai pembantu hakim.

Ibnu Khaldun menunjukkan di berbagai pemerintahan Islam seperti Al-Ubaidi di Mesir dan Maroko, dan di masa Bani Umayyah di Andalusia, jabatan ini berada di bawah naungan para qadi atau hakim yang diangkat berdasarkan pilihan hakim bersangkutan. Namun, dapat juga muhtasib langsung di angkat dan bertanggung jawab kepada Amir atau Sultan yang menunjuknya.

Pencetakan Dinar dan Dirham
Ada hal yang juga menarik diperhatikan dalam hal ini. Dalam sub bab yang sama dengan Muhtasib ini Ibnu Khaldun membahas soal pencetakan Dinar dan Dirham. Artinya pencetakan Dinar dan Dirham juga menjadi bagian dari tanggung jawab dan kewenangan para amir dan sultan, sebagai bagian dari amar ma'ruf nahi munkar. Orang yang ditunjuk mencetak Dinar dan Dirham juga bertugas mengawasi peredaran uang dalam masyarakat dan melindunginya dari pemalsuan atau cacat dalam transaksi atau hal-hal yang berhubungan dengan berbagai jenis uang beredar. Pencetak uang juga bertugas mencetak seal, atau tanda otorisasi dari amir atau sultan, pada uang tersebut sehingga menunjukkan jaminan kualitas dan kemurniannya.

Gambar dan simbol amir atau sultan tersebut dicetak pada lempengan-lempengan logam yang khusus didesain untuk itu. Lalu tanda tersebut ditempakan di atas Dinar dan Dirham. Tanda-tanda ini menjadi simbol jaminan mutu sesuai kondisi terbaik yang dapat dicapai. Menurut Ibn Khaldun, apabila suatu daerah atau wilayah telah mencapai pemurnian terbaik, maka mereka menjadi model ideal bagi masyarakat yang lain dalam mendesain uang mereka. Standar terbaik menjadi patokan untuk menguji kualitas dan mutu yang kurang dari standar, yang kemudian dapat dicegah beredar dari pasar.

Di masa kini, dengan Dinar dan Dirham yang telah dicetak dan diedarkan oleh berbagai jamaah Islam di dunia, telah dibentuk institusi otorisasi tersebut, yaitu World Islamic Mint (WIM). Termasuk koin-koin kesultanan yang akan segera dicetak dan diedarkan, antara lain koin Kesultanan Sulu, Kesultanan Kelantan, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Cirebon, berada dalam standar dan otorisasi WIM. Demikian pula koin dari Amirat Indonesia mendapatkan kedudukan yang sama.

Dibaca : 2157 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO