NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
24-07-2014 , Kamis Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 0,-
Dinar - Rp. 0,-
Dinarayn - Rp. 0,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 0,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 0,-
Dirham - Rp. 0,-
Dirhamayn - Rp. 0,-
Khamsa - Rp. 0,-
Yogyakarta, 27 Juni 2013
Uang Kertas Mbak Satrek
Budhi Wuryanto Soekardjo - Editor DeLokomotif
Uang dan uang-uangan tak ada bedanya selama terbuat dari benda tak bernilai.

Salah satu permainan anak-anak yang populer di kampung saya pada 1970-an, ketika saya masih kecil dan belajar di sekolah dasar, adalah "pasar-pasaran". Sekelompok anak-biasanya perempuan-berperan sebagai penjual, dan kelompok lainnya-sebagian besar anak laki-laki-berperan sebagai pembeli. Barang yang diperjual-belikan bermacam-macam. Karena hanya permainan, yang ditransaksikan juga bukan barang sebenarnya. Yang disebut rujak kangkung, misalnya, sambalnya dibuat dari pecahan batubata merah atau genting yang ditumbuk lalu diberi air, sedangkan kangkungnya terbuat dari rumput. Tentu saja uang untuk membelinya juga uang-uangan. Jika disepakati uang itu berbentuk koin-kami menyebutnya patah-pembeli akan menukarkan patah miliknya untuk mendapatkan rujak buatan temannya. Harga ditetapkan sesuai aturan permainan. Misal satu patah kecil mendapatkan sepincuk rujak, dan yang besar mendapatkan dua pincuk. patah itu kami buat dari pecahan genting. Agar bentuknya mirip koin, pecahan genting itu kami thithiki pinggirnya dengan batu, lalu kami haluskan agar tidak menggores kulit kami.

Permainan "pasar-pasaran" sekarang bisa jadi hanya tercatat pada buku mengenai dolanan tradisional anak-anak. Atau tertinggal dalam memori ingatan orang-orang yang lahir pada 1950-an dan 1960-an. Itu pun jika pernah memainkannya. Keponakan-keponakan saya di kampung juga tidak lagi bermain "pasaran" yang pernah dilakukan ayah, ibu atau om dan tantenya dulu waktu kecil. Mereka kini lebih suka bermain game modern online di Warnet. Atau seperti dilakukan oleh anak-anak kota, bermain sendirian di kamar melalui laptop, tablet atau ponsel mereka.

Tradisi tingkepan
Sebagian orang seusia saya atau yang lahir pada 1960-an kembali terlibat permainan itu pada tradisi Jawa bernama tingkepan. Prosesi ini untuk menyukuri atau menandai usia tujuh bulan kehamilan anak perempuannya. Atau ketika hadir di acara itu. Pihak penjual sudah ditentukan. Yakni ibu dan ayah perempuan yang usia kehamilannya memasuki tujuh bulan itu. Berbusana Jawa, sang ibu-lengkap dengan sanggul dan kain kebaya-menggendong tenggok, ditemani sang ayah-lengkap dengan blangkon dan keris di pinggang-berkeliling menawarkan rujak pedas dan dawet. Pembelinya adalah para tetamu. Uang untuk membelinya bernama Kreweng. Tetamu tak perlu mengantongi Kreweng, karena tuan rumah akan memberikan uang-uangan berbentuk bulat dan terbuat dari tanah liat yang dibakar (grabah) itu. Lalu berlangsunglah transaksi jual-beli rujak pedas dan dawet� dengan uang Kreweng-dipandu pembawa acara. Rujak dan dawet manis lalu dinikmati sembari berbincang-bincang, ditemani musik dan lagu.

Seiring dengan berlalunya waktu, uang patah itu kami tinggalkan. Sebagai gantinya, kami menggunakan uang koin yang terbuat dari kertas. Kami tidak tahu mengapa hanya meniru uang koin, meski sebenarnya waktu itu telah beredar uang kertas yang dicetak dan diedarkan oleh Bank Indonesia. Mungkin saja karena waktu itu teknologi cetak-mencetak belum berkembang sepesat sekarang, sehingga kami tidak bisa meniru uang kertas. Tidak seperti anak-anak sekarang, yang jika mereka mau, dapat bermain "pasaran" dengan uang kertas tiruan.

Uang koin kertas itu kami buat dengan cara ngeblad. Di atas uang koin kami tempelkan kertas, lalu kertas itu kami arsir dengan pensil tulis atau pensil gambar, sampai keluar bagian-bagian yang menonjol pada uang koin yang diblad itu. Gambar uang koin hasil ngeblad itu kemudian kami gunting di bagian tepinya, satu per satu. Kami biasanya melakukannya bersama-sama, sambil berbincang.

Untuk ngeblad digunakan kertas bergaris buku tulis yang tidak terpakai lagi. Tapi kami lebih suka menggunakan kertas tipis polos berwarna putih yang sering dipakai oleh ayah saya untuk menulis atau mengetik. Dengan kertas doorslag-begitu nama kertas itu-hasilnya lebih bagus. Saya dan adik-adik saya sering kali bertindak sebagai pensuplai kertas doorslag itu untuk beberapa teman kami. Ayah mengizinkan kami mengambil kertas itu di mejanya. Sebagian sudah ada tulisan atau ketikan, sehingga kami hanya menggunakan bagian yang masih kosong untuk ngeblad. Sebagian lagi masih utuh. Di atas selembar kertas doorslag ukuran folio bisa diblad belasan uang koin. Seingat saya, waktu itu beredar uang koin pecahan Rp 1 dan Rp 5. Kemudian beredar pula uang koin pecahan Rp 10, Rp 25 dan Rp 50. Bahkan kemudian koin Rp 100. Logam pembuat uang koin waktu itu berbeda dengan uang koin pecahan Rp 100, Rp 200 dan Rp 500 yang diedarkan BI saat ini.

Karena hanya uang-uangan, seperti juga uang Hello Kitty, uang monopoli atau uang tiruan lain yang digunakan oleh anak zaman sekarang, uang koin kertas blad-bladan itu juga kami biarkan begitu saja menjadi sampah saat datang permainan baru. Musim permainan "pasar-pasaran" dengan uang koin kertas datang lagi, dan kami membuatnya lagi, lalu kami mencampakkannya kembali kembali saat datang musim permainan lain. Begitu seterusnya.

Rupanya kami "ketinggalan kereta". Kami hanya bisa mencetak "uang" dengan membuat patah dan ngeblad uang koin logam, dan "uang" itu hanya bisa dipakai untuk transaksi bohong-bohongan. Kalah canggih dibandingkan uang kertas buatan seorang perempuan muda beranak dua di kampung saya. Seperti kami, perempuan itu juga membuat uang dari kertas. Tapi-ini yang mengejutkan kami: uang kertas buatannya bisa ia gunakan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung kelontong. Belanja betulan! Bukan seperti kami yang menggunakan uang buatan kami hanya untuk berjual-beli dalam permainan "pasar-pasaran".

Uang kertas itu ia buat dari buku bergaris buatan Kertas Leces. Saya ingat, buku buatan pabrik kertas ini sampulnya berwarna biru dan terbuat dari merang padi. Tapi ada pula yang ia buat dari kertas doorslag, kertas yang sering kami minta dari ayah. Kertas itu ia gambari dan ia beri angka-angka mirip uang kertas yang ia inginkan. Kalau ia kira-kira jumlah belanjanya sekitar Rp 5.000, ia pun akan menggambari kertas mirip dengan uang pecahan Rp 5.000, lengkap dengan gambar monyetnya, dan diberinya angka Rp 5.000. Untuk membuat uangnya itu, boleh jadi ia tidak mengeluarkan ongkos sepeser pun, karena kertas itu ia peroleh di tempat sampah.

Para pemilik warung pun bersedia-tepatnya terpaksa-menerima kertas yang oleh perempuan itu dikatakan sebagai uang. Kalau uang yang ia ulurkan itu nominalnya lebih besar daripada jumlah total belanjanya, ia pun minta uang kembalian. Para pemilik warung memberikan uang kembalian-uang beneran. Kalau para pemilik warung menolak, perempuan itu akan marah. Bahkan mengacak-acak seisi warung. Tidak ada yang berani mencegahnya. Perempuan itu akan balik menyerang siapa saja yang berusaha meredam kemarahannya.

Ini kisah nyata yang terjadi waktu saya kecil dulu di kampung saya, Pasarbatang, sebuah kelurahan di sebelah utara kota Brebes. Saya beberapa kali menyaksikan saat perempuan itu berbelanja, dan saat ia mengamuk gara-gara uang kertasnya ditolak oleh pemilik warung. Salah satu pemilik warung langganannya adalah keponakan nenek saya-saya memanggilnya Bulik Kus-dan warung kelontongnya itu ada di sebelah rumah orangtua saya.

Begini ceritanya. Tersebutlah seorang bernama -saya berusaha mengingat namanya, namun selalu gagal, meski sosoknya masih tersisa dalam ingatan saya. Jadi, untuk mudahnya sebut saja namanya Satrek. Rumah Mbak Satrek ada di belakang rumah ibu-bapak saya, dan jaraknya hanya sepelemparan batu. Ia tidak bekerja, dan tinggal hanya dengan kedua anaknya yang masih balita. Sesekali para tetangga membantu kebutuhan Mbak Satrek dan anak-anaknya. Apalagi bila ia diketahui sering terlihat berada di warung Bulik Kus atau warung kelontong lain dan berbelanja dengan uang kertas buatannya, sementara keluarganya belum ada yang datang menjenguknya.

Tulang punggung keluarga Mbak Satrek adalah seorang lelaki yang datang dua atau tiga bulan sekali ke rumahnya. Saya tidak terlalu ingat tentang lelaki itu. Ada yang mengatakan, lelaki itu seorang polisi dan dipindah-tugaskan ke Jakarta. Ada pula yang berkisah, lelaki itu bekas suaminya, dan sudah kawin lagi. Ia kemudian tinggal bersama istri barunya di Jakarta. Ada pula yang menyebut lelaki itu adik Mbak Satrek. Entahlah mana yang benar. Waktu itu saya tidak paham dengan gosip yang beredar di kalangan orang-orang dewasa. Namun yang pasti, dan ini fakta: Mbak Satrek terganggu ingatannya.

Orang-orang dewasa di kampung kami mengolok Mbak Satrek dengan istilah wong ora (orang tidak) waras, alias gila. Sedangkan anak-anak seusia saya, juga saya, menyorakinya wong kenthir (artinya juga orang gila atau orang edan). Ini gara-gara Mbak Satrek sering mengejar kami saat sedang ia marah dan kami mengolok-oloknya. Ia suka mencubit paha anak yang berhasil ia tangkap. Bekas cubitannya membekas, berupa memar merah. Kedatangan lelaki itu sekaligus pula membereskan urusan belanja Mbak Satrek di warung-warung langgan-annya. Termasuk di warung Bulik Kus. Para pemilik warung mendatangi lelaki itu dan menukarkan kertas-kertas yang dianggap Mbak Satrek sebagai uang itu menjadi uang betulan. Bagi Bulik Kus dan pemilik warung kelontong lain, uang kertas Mbak Satrek seperti pengakuan utang (promissory note). Kepada para pemiik warung, lelaki itu memang telah menyatakan bersedia membayar semua barang yang dibeli Mbak Satrek dengan uang kertas buatannya.

Uang patah dan uang koin blad-bladan berlaku hanya bertumpu pada kesepakatan saya dan teman-teman sepermainan yang menggunakannya, bahwa harus ada "sesuatu ditukar dengan sesuatu lainnya". Kreweng juga berlaku karena kesepakatan di antara orang-orang dewasa dalam acara tingkepan. Bulik Kus dan pemilik warung kelontong lainnya juga bisa menerima kertas bergambar dan berangka karya Mbak Satrek hanya bertumpu pada keyakinannya bahwa uang buatan wong edan itu suatu hari akan diganti dengan uang betulan oleh keluarga Mbak Satrek. Dengan analogi ini, patah, uang koin kertas blad-bladan dan Kreweng serta kertas bergambar dan berangka karya Mbak Satrek sebenarnya juga tidak ada beda dengan uang kertas kita-rupiah dan uang kertas lainnya, bahkan dolar Amerika Serikat sekali pun - berlaku hanya karena ada kesepakatan.

Uang fiat
Seperti kertas bergambar dan berangka karya Mbak Satrek, uang kertas rupiah juga hanyalah kertas bergambar dan berangka. Rupiah hanyalah uang fiat. Yakni uang yang nilainya dalam pertukaran barang dan jasa tercipta melalui proses fiat (berdasarkan permintaan negara). Bank Indonesia tidak akan menukar uang kertas rupiah selain hanya dengan uang kertas rupiah lainnya. Rupiah bertumpu pada kekuasaan pemerintah Republik Indonesia dan keyakinan orang yang menggunakannya-keyakinan bahwa rupiah masih bisa dipakai untuk membeli, keyakinan bahwa pemerintah RI akan terus ada dan menerima rupiah untuk pajak yang kita bayar, lalu pemerintah kita menggunakannya untuk mencicil utang luar negerinya serta membelanjakannya dalam pengeluaran negara yang lain, dan keyakinan bahwa orang lain akan terus mempercayai rupiah. Selain keyakinan itu, tidak ada apa pun yang menopang rupiah.

Bedanya, dengan uang patah dan uang blad-bladan kami bisa menikmati hari libur seharian dengan bermain "pasar-pasaran". Dengan sekeping Kreweng, tetamu mendapat segelas rujak pedas atau dawet dalam acara tingkepan. Mbak Satrek bisa tetap berbelanja, meski tidak punya uang. Sedangkan BI mendapatkan penerimaan yang secara teknis disebut seigniorage. Yakni selisih antara nilai nominal uang kertas yang dicetaknya dan ongkos cetak uang kertas itu. Uang kertas pecahan Rp 100.000 konon biaya cetaknya hanya sekitar Rp 246. Jadi, seigniorage yang dikantongi BI dari selembar uang kertas Rp 100.000 yang dicetaknya adalah Rp 99.754. Bayangkah jumlah seigniorage yang ditangguk BI jika lembaga ini mencetak uang kertas pecahan Rp 100.000, misalnya, senilai Rp 10 triliun? Rp 997.540 triliun! �- wow!

Ketidakwarasan bisa menciptakan uang kertas. Di tangan Mbak Satrek, wong gendeng, secarik kertas buku tulis bergaris, yang ia beri gambar dan angka tertentu-sesuai keinginannya-bisa menjadi uang untuk berbelanja. Untuk membuat uangnya itu ia sering tidak mengeluarkan ongkos sepeser pun, karena kertas itu dapat ia peroleh di tempat sampah. Orang gila bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan, dari kehampaan. Dengan tidakwarasannya itu, orang edan tadi juga bisa memaksa para pemilik warung untuk mengakui uang buatannya sebagai alat tukar. Ia merasa berhak mencetak uang, menentukan nilai dan mengedarkannya. Ia telah bertindak sebagai penentu nilai, pencetak, pengedar sekaligus pengguna uang kertas. Ia telah bertindak seperti pihak otoritas pencetak dan pengedar uang kertas-seperti bank sentral, ya?!

Dibaca : 3398 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO