NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
24-07-2014 , Kamis Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 0,-
Dinar - Rp. 0,-
Dinarayn - Rp. 0,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 0,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 0,-
Dirham - Rp. 0,-
Dirhamayn - Rp. 0,-
Khamsa - Rp. 0,-
Jakarta Selatan, 11 Desember 2012
Uang Kertas adalah RIba
K.H Masdar F Mas'udi - Rais Syuriah Nahdlatul Ulama
Kiai muda dan progresif yang kini menjadi salah satu pengurus teras Nahdhatul Ulama ini menyatakan uang kertas adalah riba. Merupakan Syarah tentang mata uang dari UUD 1945.

Dalam tradisi Islam, mata uang yang dipakai adalah dinar emas dan dirham perak. Mata uang ini memang bukan orisinil kreasi Islam, melainkan warisan peradaban terdahulu yang sudah beribu tahun berlaku di kekaisaran Bizantium, Persia juga China. Mengingat segi positif yang ada pada mata uang tersebut, tanpa ragu Islam mengadopsinya. Inilah keterbukaan Islam terhadap semua hal yang positif dan membawa kemaslahatan bagi manusia. Rasulullah, seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah, menegaskan:
"Hikmah, atau kebaikan, adalah barang berharga milik orang beriman, dimana dan darimanapun dia menemukan, dialah yang paling berhak untuk memanfaatkan" (HR. Tirmizi)
Sebagaimana berbagai macam kontrak bisnis (Muamalah) dalam Syariat Islam seperti: qiradl, mudlarabah, wadiah, wakalah, ju'alah, syuf'ah, rahn, dan sebagainya. Semuanya adalah warisan kearifan lokal masyarakat Arab, khususnya kaum Quraesy yang memang dikenal sebagai masyarakat pedagang/pebisnis, yang sudah berjalan dan mentradisi berpuluh atau beratus tahun sebelum Islam datang. Peranan Islam terhadap tradisi bisnis dalam pola-pola transaksi tersebut tidak lain hanyalah menitipkan prinsip etik dan moral, yakni tidak boleh ada ariba (tahrim al-riba), transaksi harus dicapai dengan kesukarelaan para pihak (taradlin) dan tidak boleh ada penipuan ('adamul ghabn).

Demikian dengan mata uang dinar emas dan dirham perak. Islam mengendors (memilih) mata uang dinar/dirham karena secara intrinsik dan objektif memiliki nilainya sendiri yang signifikan dan nyata. Bandingkan dengan mata uang kertas yang berlaku di seluruh dunia di era kapitalisme modern dewasa ini. Sesobek kertas yang hampir tidak punya nilai apa-apa, tiba-tiba menjadi berharga 100 dollar (atau Rp 1.000.000,- baca: satu juta rupiah) hanya dengan membubuhkan angka yang dikehendakinya. Menarik menyimak pernyataan Paus Benediktus XVI yang mengomentari kebangkrutan keuangan Amerika: Biarlah kini semua orang tahu bahwa "uang hanyalah ilusi".

Namun Islam-sejalan dengan prinsip rasional dan keterbukaannya-bukan hanya mengadopsi, tapi sekaligus menggenapi warisan peradaban yang ada.

Selisih yang bisa, dan bahkan sering terjadi, antara nilai objektif bahan baku mata uang dan nilai nominalnya ditutup rapat. Di tangan Islam mata uang dinar dan dirham dipastikan memiliki nilai nominal yang setara dengan nilai objektif dan intrinsiknya. Tidak boleh ada selisih. Karena selisih antara nilai objektif dan nominal mata uang pada hakikatnya adalah penipuan terbuka, atau riba dalam bahasa syariat.

Kebijakan mengambil dan menyempurnakan tradisi dan peradaban terdahulu ini merupakan penjabaran dari misi Rasulullah, sallalahu alayhi wa sallam, seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra:
"Aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan perikehidupan baik yang sudah ada." ( HR Ahmad)
Dengan kembali menggunakan mata uang emas (dinar) atau perak (dirham), penipuan yang telanjang melalui mata uang akibat selisih yang sangat jauh antara nilai nominalnya dan nilai objektif/intrinsiknya bisa dihindari. Itulah yang dalam pandangan Islam disebut riba al-fadl, riba karena selisih nilai.

*) Dinukil dari buku Syarah Konstitusi UUD 1945 Perspektif Islam, Pustaka Alfabet Jakarta Indonesia, 2012, hal 192-194

Dibaca : 4372 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO