Zaim Saidi, 28 Agustus 2013
Jadilah Orang Asing dan Berbahagialah
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Islam datang dan kembali sebagai fenomena asing. Tapi berbahagialah orang-orang asing ini.


Dalam suatu haditsnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali sebagai asing sebagaimana awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing" (HR Muslim). Siapakah orang-orang yang asing ini? Yakni orang-orang yang menegakkan syariat ketika yang lain meruntuhkannya.

Ketika Islam hadir di kalangan bangsa Quraish di Mekah pada waktu itu telah berjalan sebuah kehidupan yang mapan, meski penuh kejahilan: orang menyembah berhala, biasa mabuk-mabukkan, perzinaan dan perjudian marak, dan riba merajalela. Nabi Muhammad, shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan semua hal itu terlarang, dan harus dihentikan. Ketika hampir semua orang melakukan itu semua, dan prakteknya merupakan norma umum dan kelaziman, maka seruan untuk menghentikannya adalah sebuah keasingan.

Selama 23 tahun Rasulullah, shallallahu 'alaihi wa sallam berhasil mengubah keadaan. Semua yang diwariskannya di Madinah kemudian diteguhkan dalam kehidupan sehari-hari, dimantabkan sebagai sunnah, oleh tiga generasi pertama Islam. Para Sahabat, Tabiin, serta Tabiit-Tabiin secara turun-temurun mentransmisikan keteladanan dan ajaran Nabi , shallallahu 'alaihi wa sallam, secara langsung tanpa terputus, baik tertulis (melalui hadits) maupun tidak tertulis (tradisi 'amaliah). Kita mewarisinya sebagai 'amal Ahlul Madinah yang merupakan bukti dan warisan paling otentik dari sunnah Nabi, shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dari Madinah, Islam dan Muslim, menyebar ke berbagai wilayah dunia. Ke barat sampai di Andalusia maupun ke timur sampai di Nusantara. Dua kekuatan besar di zamannya, Persia di Timur dan Bizantium di Barat, berhasil ditaklukkannya. Selama ratusan tahun kemudian Islam dan kaum Muslim mengalami masa kejayaan. Terlepas dari berbagai bid'ah dan penyimpangan yang terjadi di sana-sini, sendi-sendi dan pilar pokok Islam, tetap terjaga.

Di tangan para khalifah, dan para sultan serta para amir di tingkat lokal, syariat Islam terjaga. Ibadah dan muamalah berjalan bersamaan dalam kehidupan. Syariat Islam berjalan sebagai norma umum dan kelaziman. Tapi, realitas Islam itu tidak lagi kita temukan dalam masa sekitar seabad terakhir ini. Islam yang dulu pernah ada, berjalan mantab, dikalahkan dan disapu bersih, oleh kekuatan sekuler-kapitalis, yang ironinya kita sambut dengan gembira, sebagai "pembaruan, moderninasi, dan pembangunan" itu.

Secara perlahan praktek berislam, syariat Islam, terkikis dan hilang dari kehidupan, kecuali separuh darinya, yaitu ibadah. Separuh yang lain, yakni muamalah, tunduk dan putuh pada sistem asing yang menggantikannya, yaitu sistem riba, negara fiskal dengan demokrasinya. Norma umum kehidupan Muslim dan non-Muslim hari ini praktis sama persis, dan tak lagi dapat dibedakan: uangnya, perbankannya, cara berdagangnya, mal dan supermarketnya, cara berinvestasinya, konstitusinya, bahkan aspirasi hidup dan cara berpikirnya.

Kaum Muslim hanya bisa dicirikan dari ritus dan simbol-simbolnya belaka. Maka, serupa dengan ketika hampir setiap orang minum tuak di zaman Nabi dulu, ketika semua orang menggunakan uang kertas hari ini, menyerukan keharamannya adalah asing. Ketika di sekolah-sekolah diajarkan untuk menabung di bank dan berutang-piutang dengannya, menyatakan bahwa bank adalah biang riba yang haram, adalah asing. Ketika semakin banyak orang merasa nyaman belanja dengan kartu kredit di supermakket, mengatakan cara itu bertentangan dengan syariat, adalah asing. Ketika setiap kali warga memilih pemimpin dengan cara pemilu demokratis, menyerukan untuk kembali berbaiat kepada para amir dan sultan, adalah asing.

Tetapi, berbahagialah orang-orang asing ini, kata Nabi , shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab itu pertanda Anda berada dalam jalan yang benar: menegakkan sunnah, ketika yang lain merusakkannya. Sudah barang tentu, sesuatu yang telah menjadi asing, meski sebelumnya merupakan kelaziman, harus kembali diajarkan kepada khalayak luas. Cara terbaik untuk itu, tentu saja, adalah dengan mengamalkannya, mempraktekanya, dalam kehidupan sehari-hari. Cara berikutnya adalah menularkannya melalui penggajaran umum, di antaranya lewat tulisan, brosur, selebaran, dan buku-buku.

Ambillah peran yang Anda bisa lalukan. Ajarkan pengethuan yang Anda miliki. Teladankan melalui tindakan. Ajaklah siapa pun, yang Anda tidak kenal secara pribadi, aplagi yang sudah Anda kenal, untuk bermuamalah dengan Dinar dan Dirham. Ketika muamalah yang halal ini kita tegakkan, maka sistem riba yang batil ini akan lenyap. Tindakan sesederhana memberikan kado, atau bersedkah,s ekeping Dirham ke temanten atau ke baitulmal, akan memberkan dampak besar. Meski, boleh jadi Anda tidak menyadarinya. Jangan underestimate terhadap hal demikian. Kepakan sayap kupu-kupu di sini boleh jadi menghasilkan tornado di tenpat lain.

Perhatikanlah yang terjadi hari-hari ini. Ketika nilai rupiah tiba-tiba merosot terhadap dolar AS, maka daya belinya ikut merosot terhadap berbagai komoditas dan jasa lain. Pahamilah bahwa ini semua bukan terjadi secara spontan, melainkan permainan di dalam sistem riba itu sendiri. Secara serta merta jumlah orang miskin bertambah banyak. Dan itu termasuk kita semua, para pemegang uang kertas, sementara segelintir orang -di gedung-gedung pusat sistem riba dikendalikan, di perbankan- menjadi kaya raya secara tiba-tiba.

Waktu kita, waktu saya dan Anda, sangat terbatas. Maka, bertindaklah. Lakukan sesuatu untuk menegakkan muamalah. Jadilah orang asing. Dan berbahagialah.