Depok, 22 Oktober 2013
Fulus di Zaman Khalifah Umar ibn Khattab
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa Fulus lazim beredar dan digunakan secara terbatas di zaman Khalifah Umar ibn Khattab

Suatu ketika, Khalifah Umar ibn Khattab menjumpai anaknya yang sedang memegang sekeping koin�Fulus tembaga [ada yang meriwayatkan sebagai perunggu]. Karena tidak pernah merasa memberinya, Umar bertanya, "Dari mana kamu peroleh Fulus itu?"

"Dari Abu Musa al-Asy"ari," jawab sang anak seraya menyerahkan uang receh tersebut kepada sang ayah.

Ya, memang saat itu, Abu Musa ditugasi memegang jabatan selaku pemegang Baitul Mal, perbendaharaan pemerintahan. Bergegas Umar mendatangi Abu Musa.

"Betulkah engkau memberi anakku sekeping uang perunggu?" bentak Umar.

"Benar, wahai Amirul Mukminin." Abu Musa mulai merasa bersalah.

"Ceritakan asal-usul uang itu," pinta Umar.

Dengan hati-hati Abu Musa menjawab, "Tadi pagi, saya menghitung pemasukkan Baitul Mal. Seluruhnya terdiri dari dinar emas dan dirham perak, kecuali sekeping uang tembaga itu. Semua dinar emas itu sudah saya bukukan dalam catatan tersendiri, demikian pula dirham perak. Oleh karena Fulus itu tidak seberapa harganya, dan hanya satu-satunya, apa gunanya saya catat dalam daftar terpisah, hanya menghabiskan buku saja. Jadi saya berikan kepada anakmu sekedar untuk membeli kue-kue kecil."

Kontan saja, Umar naik pitam. Ia menegur dengan berang, "Tidakkah kau lihat anak-anak selain anak Umar yang lebih membutuhkannya? Anak seorang prajurit rendahan yang berjuang melawan pasukan Romawi di baris depan jauh lebih mulia dibandingkan anak Umar, seorang khalifah yang hanya memerintahkan tentaranya berperang dari kamar tidurnya."

Akhirnya, Fulus tembaga itu dikembalikan ke Abu Musa dan Umar memerintahkannya agar dicatat dan dipergunakan bagi kepentingan yang lain.

****

Keterangan tentang Fulus:
Berbeda dari Dinar emas dan Dirham perak yang nilainya tergantung kepada berat dan kemurnian dari logam mulia ini, nilai�Fulus, sebaliknya, tidak setara dengan nilai metalnya, melainkan pada angka yang tercetak di atasnya. Fungsi Fulus adalah sebagai alat transaksi kecil, yang bahkan dengan koin perak terkecil pun masih akan terlalu besar. 
Dalam kitab-kitab fiqih dari berbagai maddhab pun telah dibahasa secara rinci, sampai soal posisinya apakah Fulus dapat dikenai zakat atau tidak , dan apakah zakat dapat dibayar dengannya atau tidak, serta apakah Fulus dapat digunakan dalam kontrak-kontrak bisnis atau tidak, dan sebagainya.�

Fulus tidak terkena hukum dan tidak dapat dipakai sebagai alat bayar zakat, tidak bisa dipakai sebagai permodalan qirad. Fungsinya semata-mata hanya sebagai alat tukar untuk nilai recehan. Sebab, bahkan koin 0.5 Dirham pun, acap kali masih terlalu tinggi untuk barang-barang yang sangat murah, seperti permen, kerupuk, dan sejenisnya. Dan, meskipun secara tradisional terbuat dari tembaga, Fulus dapat dibuat dari bahan apa pun, termasuk kertas sekalipun. Tetapi, meski terbuat dari kertas, Fulus sangat berbeda dengan uang kertas fiat yang berlaku saat ini, yang nilainya sama sekali merupakan angka fantasi atau khayalan belaka. Ada kesalahpahaman sebagian orang yang mengira dari Fulus ini kemudian akan berkembang menjadi uang kertas. Uang kertas bukan berasal dari Fulus tetapi dari nota bank, sebagaimana telah dijelaskan secara ringkas pada bagian awal buku ini. Uang fiat adalah pajak, dan riba sekaligus, dan karenanya haram hukumnya. Sebaliknya Fulus adalah halal.


Istilah Fulus itu sendiri berasal dari kata follis (jamaknya folles), koin perunggu dari Kekaisaran Rumawi. Dalam bahasa Rumawi follis berarti tas, biasanya terbuat dari kulit, yang merupakan tas di zaman kuno yang isinya koin. Sedangkan dalam bahas Arab modern, Fulus, yang pada awalnya kata itu hanya bermakna sebagai uang recehan ini, adalah uang itu sendiri. Kata ini terkait erat dengan kata bangkrut, muflis, yakni orang yang bangkrut, yang berarti seseorang yang hanya memiliki sedikit uang recehan (Fulus) atau tidak punya (uang) emas atau perak - maka kini orang yang memiliki uang kertas, meski banyak jumlahnya, seharusnya disebut muflis. 



Fungsi Terbatas
Karena fungsinya untuk alat pembayaran benda-benda murahan maka�Fulus adalah alat tukar yang akan dimiliki oleh semua golongan masyarakat, baik yang kaya raya, kelas menengah, warga kebanyakan, dan lebih-lebih kaum fakir miskin. Ini berbeda dengan Dinar emas dan Dirham perak, yang sesuai fitrahnya, akan lebih banyak dimiliki dan digunakan oleh kaum kaya. Tetapi, sesuai dengan ketentuannya, kaum kaya - para pemilik Dinar dan Dirham - akan terkena kewajiban zakat, sedang fakir miskin, pemegang Fulus, tidak.�

Fulus, karena itu, memiliki fungsi sangat terbatas. Karena itu, secara historis, Fulus juga hanya berlaku secara lokal. WIM pun tidak akan mengeluarkan standar Fulus, karena memang tidak pernah ada standar untuk Fulus. Bahkan termasuk penetapan nilai tukarnya pun akan bersifat lokal. Penting untuk diketahui nilainya ditetapkan atas dasar nilai tukarnya dengan koin Dirham perak. Tetapi Fulus tidak boleh ditukarkan dengan koin Dinar, kecuali dianggap sebagai mata dagangan, dan dihitung berdasarkan pada berat metalnya. Dari data sejarah berat Fulus yang pernah ada berkisar antara 1.71 sampai 5.04 gram. Dari koin Fulus peninggalan Bani Umayyah diketahui diameternya bervariasi antara 12-27 mm, dengan berat rata-rata 3.5 gr. Tidak masalah dengan variasi berat, diaemeter, dan bahan koin ini.

Di Samudra Pasai dulu dikenal uang receh dari timah yang dikenal dengan nama keueh. Jadi, dari zaman dulu, koin Fulus itu bersifat lokal, bernilai sangat kecil, hingga dengan sendirinya terbatas pemakaiannya.