NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
02-11-2011 , Rabu Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 1.119.500,-
Dinar - Rp. 2.239.000,-
Dinarayn - Rp. 4.478.000,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 11.083,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 33.250,-
Dirham - Rp. 66.500,-
Dirhamayn - Rp. 133.000,-
Khamsa - Rp. 332.500,-

HARGA EMAS PERAK DUNIA


[Most Recent Quotes from www.kitco.com]
[Most Recent Quotes from www.kitco.com]

, 02 Juli 2010
Tentang Fulus
Abdassamad Clarke -
Bagi orang Arab modern, fulus, yang pada awalnya kata itu hanya bermakna sebagai uang recehan, adalah uang itu sendiri.

Kata ini terkait erat dengan kata bangkrut, muflis, yakni orang yang bangkrut, yang berarti seseorang yang hanya memiliki sedikit uang recehan (fulus) atau tidak punya (uang) emas atau perak, atau dalam kasus yang lebih ekstrim, seseorang yang bahkan tidak punya recehan sekalipun. Namun, pemahaman yang awal ini harus dibaca oleh orang Arab modern hanya sebagai seseorang yang memiliki 'uang'; yaitu hanya jika Anda memiliki uang, Anda akan bangkrut.

Kesalahpahaman kebanyakan kaum Muslim modern tentang subyek uang berasal dari kenyataan bahwa ketika Eropa bersinggungan dengan Muslim, selama konfrontasi, perdagangan, dan imperialisme yang panjang selama berabad-abad, mereka memperkenalkan uang kertas mereka, dengan premis keliru bahwa itulah fulus. Sejarah berliku tentang perubahan uang dan investasi Eropa yang menjadi penuh dengan riba, dan transisi panjang uang kertas sebagai tanda terima emas atau perak yang disimpankan untuk diamankan pada tukang emas menjadi sesuatu entitas yang dapat diciptakan dari ketiadaan oleh para bankir swasta yang kaya, yang kemudian membebankan bunga untuk penggunaannya, terlalu panjang untuk dicakup esai ini, dan mulai dapat dipahami. Cukup dikatakan bahwa uang modern dengan riba pada dirinya sendiri cukup menenggelamkan ummat, dan jelas tidak boleh dikacaukan pengertiannya dengan fulus.

Kini kita sampai pada murid-murid Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi, yang upaya panjang dan teguhnya hanya sampai pada sedikit orang (sekarang lebih baik dipahami) tentang kritik atas uang modern, yang mendapat sambutan dengan baik hanya dari segelintir orang, tapi di banyak tempat bahkan sangat tidak populer. Sampai bencana keuangan global yang berlangsung 2008-2010 yang memberikan penerang, membuat mereka mulai muncul di permukaan dengan agak lebih luas, dan mulai dihargai. Namun, sekarang tampaknya mereka telah kembali membuka pintu kecurigaan, karena menyerukan penerbitan uang kertas Islam, disebut sebagai fulus, yang sebagian besar umat Islam masih memahaminya sebagai uang itu sendiri. "Subhanallah! Bukankah mereka anti terhadap uang kertas, dan tidakkah mereka menerbitkan fatwa terhadap hal itu, dan menyatakannya haram?" Oleh karena itu, mengingat pentingnya hal yang dipertaruhkan, adalah penting pada titik ini kita menjelaskan masalah ini kepada kaum Muslim dengan sebaik mungkin.

Kaum Muslim sejak zaman Nabi, salallahualaihi wassalam, dan sahabat-Nya, semoga Allah ridho dengan mereka semua, menggunakan tiga hal utama sebagai mata uang: Dinar emas, Dirham perak dan fulus, yang terakhir ini awalnya berupa koin tembaga kecil, tidak denominasi lebih tinggi dari setengah Dirham perak. Hal ini dapat dilihat dalam karya fiqh atau sejarah, dan didokumentasikan scara menyeluruh dalam "Fiqhiyyah Mawsu'ah -Fiqh Encyclopaedia" yang diterbitkan sebagai volume besar empat puluh lima set, dari Kuwait.

"Pemakaian Dinar Romawi dan Dirham Persia yang bergambar raja mereka oleh Nabi, salallahualaihi wassalam, dan Sahabat, dan mereka tidak memiliki mata uang lain, kecuali fulus."

Nilai dari Dinar emas dan Dirham perak tergantung pada berat dan kemurnian dari logam mulia ini. Nilai fulus, sebaliknya, tidak tergantung pada nilai tembaga, melainkan pada angka yang tercetak di atas koin. Koin ini hanya token untuk transaksi kecil yang bahkan koin perak kecil pun masih akan terlalu berharga.

Ini merupakan suatu hal yang tanpa kontroversi. Karya-karya fiqih dari berbagai maddhab telah membahasanya secara rinci, sampai soal apakah fulus dapat dikenai zakat atau tidak , dan apakah zakat dapat dibayar dengannya atau tidak.

Ketika meluncurkan fulus [bersama dengan Dinar dan Dirham], Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi berkata, "Pada pertemuan saya dengan Shaykh Mahmud Effendi Turki, pimpinan tareqah Naqsyabandi, semoga Allah memberinya kesehatan dan umur panjang bersama kita dan melindunginya, Shaykh Mahmud Effendi mengatakan, 'ini (Dinar dan Dirham) adalah mata uang Muslim, tetapi Anda harus memiliki fulus, karena dua alasan: tidak ada zakat pada fulus karena bukan logam mulia, dan para janda harus mampu membeli rotinya, sepotong roti, dengan mata uang yang tak dipajaki, yang memungkinkannya menjadi halal di semua transaksi dia.'"

Jadi, ini adalah bagian penting dari perdagangan Islam, karena budaya Muslim yang sangat alami berpusat pada kebutuhan masyarakat miskin, bertentangan dengan kapitalisme yang mementingkan melayani perbankan plutokrasi oligarkis, dengan pernyataan bahwa kekayaan akan 'menetes ke bawah' dan akhirnya menjangkau masyarakat miskin, yang jelas tidak mereka lakukan. Kapitalisme memperkaya golongan yang sangat sedikit dan memerosotkan populasi global pada kemiskinan dan perbudakan-utang. fulus merupakan mata uang yang digunakan dalam transaksi sehari-hari yang tak terhitung jumlahnya oleh semua segmen masyarakat untuk barang-barang sepele sehari-hari, tapi tentu saja, itu merupakan mata uang yang dominan bagi kaum miskin, dan syariat, akan membebaskan sebagian besar kaum papa ini dari keharusan untuk berzakat.

Sekarang, para pengritik uang modern, harus menghadapi tentangan bank-bank swasta, yang bersembunyi di balik nama-nama seperti The Federal Reserve, yang beresonansi dengan rasa nasionalisme, yang merupakan kekuatan untuk menciptakan kredit baru dari ketiadaan, sambil bersikeras bahwa hak tersebut hanya milik negara. Ini adalah gema dari otoritas sebelumnya yang jauh lebih mendasar, yang berdaulat mengesahkan pencetakan mata uang dengan kemurnian, ukuran dan bobot logam mulia yang diketahui, mencantumkan nama dan, kadang-kadang, gambarnya, sebagai pembuktian dan pengakuan akan tanggung jawabnya dalam semua proses. Ini merupakan kenyataan di timur dan barat, di wilayah Kristen dan di negeri-negeri Islam.

Namun pembaru monetaris, karena terpesona oleh kekuatan penciptaan kredit dan masyarakat konsumen yang telah dilahirkannya, enggan untuk melihat kekuatan membuat uang dengan kertas ini dihapuskan; mereka ingin mempertahankannya melalui negara. Mereka tak mampu melihat implikasi kekuatan yang sama-sama menghancurkan, siapa pun tangan yang mengendalikannya. Namun, mereka benar dalam mengidentifikasi otoritas pemerintah sebagai bertanggung jawab atas penerbitan mata uang, tetapi ini harus dalam arti otentikasi dari nilai mata uang itu, bukan memberikan lisensi untuk mencetaknya sesukanya, hanya dari ketiadaan.

Lalu bagaimana dengan fulus? Di sini kita menghadapi sesuatu yang tidak memiliki nilai intrinsik, melainkan sesuatu yang nilainya ditentukan oleh angka yang dicetak di atasnya. Seperti yang kami katakan, penerbitannya haruslah pada pemerintahan dan tidak pada orang lain. Nilainya, bagaimanapun, adalah sangat terbatas, hanya untuk transaksi kecil, dan dengan demikian dampak terhadap perekonomian seharusnya, dalam hal-hal keseharian, sangat minimal. Kita ingat dengan sangat berhati-hati, bahwa penguasa Muslim di berbagai masa, telah menimbulkan malapetaka akibat memasok fulus berlimpah-limpah.

Ada kebingungan atas fakta bahwa secara tradisional fulus dicetak sebagai koin tembaga sedang baru-baru ini fulus dicetak sebagai kertas; tidakkah seharusnya kita mengikuti model tradisional? Kami beruntung di Norwich baru-baru ini mendengar wacana yang luar biasa oleh Dr Muhammad Ghanem tentang "Konsep Uang Islam," yang juga merupakan judul tesis PhD-nya.

Selain, secara telak menyatakan bahwa mata uang kertas modern adalah inti dari riba, ia juga menunjukkan dengan sangat jelas bahwa dengan Nabi, salallahualaihi wassalam, dan Sahabat, menggunakan Dinar emas dan Dirham perak, berarti sungguh tidak dapat dibayangkan adanya penguasa muslim yang mencegah penggunaan emas dan perak sebagai mata uang (walaupun semua yang disebut 'politik Islam' dalam kenyataannya melarang penggunaannya), tidak berarti bahwa kita diwajibkan hanya menggunakan Dinar dan Dirham dan tidak ada mata uang lainnya.

Prinsip yang sama berlaku untuk fulus; fakta sejarah mereka menggunakan tembaga tidak menghalangi fulus dapat dicetak di atas kertas. Ini adalah aplikasi spesifik dari sebuah prinsip umum, kenyataan bahwa ada sesuatu yang tidak dilakukan pada zaman salaf tidak berarti bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukannya, juga tidak berarti bahwa ketika dilakukan di waktu mereka dalam cara yang spesifik, lalu cara lain untuk melakukan hal-hal demikian dilarang. Hanya pada larangan spesifik berarti bahwa sesuatu itu yang dilarang.

Jadi, tidak ada alasan bahwa fulus tidak dapat dicetak di atas kertas, dan merupakan alasan yang sangat baik untuk hari ini kenapa ia terbuat dari kertas, mengingat penerimaan umum uang kertas oleh masyarakat global. Menariknya, kalau dalam sistem keuangan glooobal berbasis riba yang dominan saat ini, koin dicetak sebagai uang receh dan uang kertas disediakan untuk denominasi yang besar, dengan mata uang Islam prosesnya dibalik, koin-koin Dinar emas dan Dirham perak merupakan denominasi yang besar dan mata uang kertas merupakan uang recehan. Ini benar-benar menjadi seperti yang seharunya karena sistem keuangan global berbasis riba berdasarkan pada uang yang sebenanrya merupakan utang-berjalan, apalagi utang ini terus berkembang secara eksponensial dalam cara yang sama sekali tak terbendung.

Sekarang, proposisi bahwa seseorang adalah muflis atau bangkrut jika mereka hanya memiliki 'uang' dan tidak memiliki emas atau perak telah menjadi jelas bagi semakin banyak orang daripada bahkan untuk satu dekade lalu. Sudah saatnya umat Islam untuk memulihkan mata uang asli dengan Dinar emas dan Dirham perak, yang telah terbukti tahan inflasi selama ribuan tahun, dan pentingnya fulus sebagai uang recehan yang digunakan untuk sebagian besar transaksi sepele sehari-hari.


Dibaca : 1764 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO