NILAI TUKAR DINAR DIRHAM
03-01-2013 , Kamis Pagi

DINAR EMAS
Nisfu (1/2) Dinar - Rp. 1.224.000,-
Dinar - Rp. 2.448.000,-
Dinarayn - Rp. 4.896.000,-

DIRHAM PERAK
Daniq (1/6) Dirham - Rp. 11.600,-
Nisfu (1/2) Dirham - Rp. 35.000,-
Dirham - Rp. 70.000,-
Dirhamayn - Rp. 140.000,-
Khamsa - Rp. 350.000,-
Jakarta, 03 Januari 2011
Republika, Dzikir Nasional, Dinar dan Dirham
Nurman Kholis - Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
'Dzikir Nasional' pada pergantian malam tahun baru masehi sejak beberapa tahun lalu menjadi agenda rutin surat kabar Republika. Pada akhir tahun 2010 ini, acara yang selalu dipandu oleh K.H. Arifin Ilham tersebut juga menghadirkan para tokoh.

Mereka adalah Menteri Agama Suryadharma Ali, Ketua Umum PB Nahdatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj (NU), Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Hidayat Nurwahid, Toto Tasmara, Tengku Zulkarnaen, dan Tutty Alawiyah. Sebelumnya, tokoh NU dan Muhammadiyah yang hadir secara bersamaan dan memberikan tausiyah dalam acara tersebut terjadi pada akhir tahun 2006, yaitu K,H. Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin. Dalam acara yang penulis ikuti tersebut, pimpinan ormas yang disebut terakhir ini menyerukan agar acara zikir berjamaah pada malam tahun baru semakin disebarluaskan agar umat Islam tidak mengisinya dengan kesia-sian dan kehura-huraan.

Karena itu dalam artikel 'Dzikir Berjamaah pada Malam Tahun Baru' (Republika, 2 Januari 2010), penulis menyoroti fenomena di kota-kota besar pada malam pergantian tahun sebagaimana digagas Republika tersebut. Benang merah yang dapat ditarik dari penyelenggaraan acara ini salah satunya adalah upaya untuk mengalihkan kebiasaan meniup terompet, menyalakan petasan, dan kebiasaan-kebiasaan negatif lainnya pada malam pergantian tahun kepada hal-hal yang positif melalui dzikir berjamaah yang di dalamnya dibacakan doa, salawat, dan ayat-ayat al-Quran. Selain itu, penulis juga menganalogikan acara tersebut dengan tradisi memperingati 3, 7, dan 40 setelah kematian yang semula dibacakan mantra-mantra dalam tradisi animisme-dinamisme dan selanjutnya dalam tradisi Hindu-Buddha yang kemudian diganti dengan bacaan-bacaan yang Islami oleh para ulama di masa silam, sebagaimana pada era Walisongo.

Untuk memperjelas esensi acara tersebut, dalam artikel ini penulis menambahkannya melalui perspektif historis pada masa para sahabat Nabi Muhammad , sallalahu alayhi wa sallam dan mengkorelasikannya dengan hadits: 'Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus yang mendapatkan petunjuk (Allah) sesudahku'. Dengan demikian, hadits tersebut merupakan legitimasi dari Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam terhadap keabsahan hasil ijtihad para sahabatnya sepeninggal beliau.

Kajian secara lebih mendalam terhadap ijtihad para sahabat tersebut perlu dilakukan agar umat Islam pada zaman sekarang khususnya di Indonesia dapat mengambil hikmah dan tidak terus menerus konflik dalam pro-kontra terhadap tradisi-tradisi yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam. Bahkan, di kalangan yang kontra ada yang memvonis 'penghuni neraka' terhadap para pelaku tradisi-tradisi tersebut berdasarkan hadits 'setiap bid�ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka'. Dengan demikan, tuduhan dan penggunaan hadits tersebut jika dijadikan pegangan dan terus menerus disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat luas akan mengancam kerukunan internal di kalangan umat Islam.

Dinar dan dirham
Sahabat Nabi Muhammad , sallalahu alayhi wa sallam yang dikenal banyak melakukan ijtihad adalah sayidina Umar bin Khatthab. Bahkan, saat beliau masih hidup terdapat ayat-ayat al-Quran yang diturunkan sebagai pembenaran terhadap gagasan-gagasan beliau. Namun, selama ini yang familiar di kalangan umat Islam mengenai hasil ijtihad-ijtihad Sayidina Umar adalah mengenai pelaksanaan salat qiyam lail pada Ramadhan yang diberjamaahkan dan dilakukan setiap malam Ramadhan hingga kemudian dikenal salat tarawih, penentuan sistem penanggalan hijriah, dan sebagainya.

Salah satu ijtihad sayidina Umar yang tidak familiar di kalangan umat Islam yaitu penggantian ornamen dan inskripsi pada dinar (uang emas) yang berasal dari Romawi dan dirham (uang perak) yang berasal dari Persia. Kedua mata uang ini sudah berlaku di tanah Arab sekian abad sebelum Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam lahir. Meskipun di dalam dinar terdapat inskripsi yang berisi ungkapan-ungkapan tentang trinitas dan di dalam dirham terdapat gambar Kisra (raja) Persia, Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam tetap memberlakukannya selain sebagai alat tukar dan juga sebagai standar dalam pelaksanaan syariah Islam, antara lain untuk nishab zakat mal, standar pemberlakuan hukum potong tangan bagi pencuri, dan sebagainya.

Namun pada tahun 20 H, saat menjabat khalifah sayyidina Umar mengintruksikan agar ornamen dan inskripsi pada mata uang dirham ditambah dengan kata-kata Islami, antara lain kalimat 'Bismillahi'. 'Bismillahi Rabbi', al hamdu lillah, dan Muhammad Rasulullah dengan jenis tulisan Kufi. Selain itu, dengan merujuk kepada hadits: 'Timbangan adalah timbangan penduduk Mekah sedangkan takaran adalah takaran penduduk Madinah' (H.R. Abu Daud), sayyidina Umar pun menentukan satuan pada mata uang dinar dan dirham sehingga diketahui bahwa 1 dinar adalah koin emas seberat 4,25 gram dan 1 dirham adalah koin perak seberat seberat 3 gram. Ijtihad sayidina Umar ini mengilhami para khalifah selanjutnya. Pada tahun 75 H, atas intruksi Khalifah Abdul Malik bin Marwan, umat Islam mencetak dinar dan dirham sendiri yang di dalamnya hanya terdapat ornamen dan inskripsi Islami tanpa ornamen dan inskripsi dari Romawi dan Persia (Lihat, Ahmad Hasan, Mata Uang Islami (terjemahan oleh Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali dari Al-Auraq Al-Naqdiyah fi Al-Iqtishad Al-Islamy: Qimatuha wa Ahkamuha), Rajagrafindo Persada, 2005: 29-35).

Dengan demikian, sayidina Umar dan Abdul Malik bin Marwan melakukan perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam yaitu mengganti ornamen dan inskripsi Romawi dan Persia dengan ornamen dan inskripsi Islami pada dinar dan dirham. Karena itu, ijtihad kedua khalifah tersebut memiliki kesamaan dengan penggantian mantra-mantra dari tradisi animisme, dinamisme, Hindu, dan Buddha pada peringatan kematian dengan bacaan-bacaan Islami yang disebut tahlilan. Hasil ijtihad kedua khalifah dan para ulama di masa silam tersebut juga memiliki kesamaan dengan upaya mengalihkan kebiasaan meniup terompet, menyalakan petasan dan perbuatan negatif lainnya pada malam pergantian tahun baru masehi dengan zikir berjamaah yang di dalamnya dibacakana bacaan-bacaan Islami. Adapun perbedaannnya, Sayidina Umar dan Abdul Malik bin Marwan melakukan perubahan pada produk budaya bersifat material sedangkan para ulama melakukan perubahan pada produk budaya bersifat non-material.

Kembali kepada Praktik Barter
Namun, yang paling esensial dari berbagai fenomena pada zaman ini adalah terletak pada mata uang dinar dan dirham. Sebelum dicetak kembali pada tahun 1992 di Spanyol, Jerman, dan Afrika Selatan yang dipelopori oleh para Muallaf berkebangsaan Eropa melalui Syekh Abdal Qadir as-Sufi (sebelumnya bernama Ian Dallas dan mantan script writer pada TV BBC London) dan Umar Ibrahim Vadillo, dapat dikatakan hampir semua kaum Muslimin tidak mengenal substansi kedua mata uang tersebut dan posisinya dalam syariah Islam. Kedua mata uang ini dicetak di Indonesia pada tahun 1999 sehingga lambat-laun upaya pengenalan dan pemberlakuan kembali dinar dan dirham semakin marak.

Salah satu media cetak yang turut serta memperkenalkan kembali kedua mata uang ini adalah Republika. Sejak 14 Juli 2006, harian ini setiap hari memuat kurs dinar dalam rubrik 'Ekonomi Bisnis'. Dalam edisi perdana pemuatan kurs mata uang ini juga ditampilkan berita berjudul 'Dinar Emas Bisa Jadi Alat Tukar'. Selain itu, Republika dalam suplemen Dialog Jumat pernah memuat rubrik Wakaf pada Juni tahun 2008. Di dalamnya berkali-kali diulas pengenalan dinar dan dirham oleh Zaim Saidi yang juga pernah menjadi wartawan harian ini. Tulisan-tulisan Zaim Saidi yang kini Direktur Wakala Induk Nusantara (WIN) juga pernah dimuat dalam rubrik opini, antara lain berjudul: 'Dengan Dinar, BPIH Turun 32,5 Persen' (6 Juli 2006) dan 'BPIH Turun (Lagi) 12 Persen, Tahun 2020 Tinggal 9,9 Dinar' (11 April 2008).

Selain itu, Republika juga memberitakan momen-momen yang terkait dengan dinar dan dirham. Hal ini antara lain ICMI Usulkan Penggunaan Dinar dan Dirham Bertahap (28 Januari 2003) dan 'RI Kaji Transaksi Minyak Tanpa Dolar' (19 November 2007). Pada judul yang terakhir ini berisi gagasan Jusuf Kalla saat menjabat wakil presiden RI yang mengusulkan agar dinar menjadi standar dalam penentuan harga minyak internasional. Hal ini ia sampaikan setelah bertemu Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Ia kemudian mengatakan kepada para wartawan, 'Gagasan Iran mengganti dolar AS dengan euro karena lebih stabil. Kenapa nggak dengan dinar saja yang lebih memiliki value'.

Adapun pemberitaan tentang dinar dan dirham yang paling baru oleh Republika adalah berkenaan Festival Hari Pasaran Dinar dan Dirham yang berlangsung di Masjid Al-Azhar, Kebayoran, Jakarta pada 24 Desember 2010. Di dalam berita tersebut juga memuat foto berukuran kartu pos tentang dirham dan sertifikatnya sehingga terbaca dengan jelas isinya antara lain: 'Sertifikat ini menyatakan bahwa produk sudah memenuhi standar dan ketentuan World Islamic Organization (WITO) dan World Islamic Mint (WIM) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar Ibn Khattab.' (Republika, 27 Desember 2010).

Berkenaan dengan gerakan pemberlakuan kembali dinar dan dirham di era modern ini, dalam pendidikan dan pelatihan calon peneliti yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 14 Agustus 2009, penulis mempresentasikan hasil penelitian berjudul 'Pemikiran Goethe tentang Islam dan Uang serta Pengaruhnya terhadap Penggunaan Dinar Emas dan Dirham Perak di Indonesia'. Penulis pun membuat rekomendasi agar bangsa Indonesia memberlakuan kembali praktik barter dalam jual beli sebagai salah satu solusi untuk bangkit dari berbagai keterpurukan terutama dalam sektor perekonomian.

Dengan demikian, berdasarkan prinsip tersebut jika negara-negara asing mau membeli berbagai kekayaan alam di Indonesia, maka pemerintah Indonesia harus meminta mereka agar alat tukarnya dengan uang emas atau uang perak bukan dengan tumpukan lembaran uang kertas. Jika mereka tidak mau atau tidak mempunyai kedua mata uang ini, maka dengan barang lainnya yang sebanding dengan barang yang mereka beli. Menurut Dwi Purwoko (Peneliti Utama LIPI) yang menguji hasil penelitian penulis tersebut, gagasan untuk memberlakukan kembali praktik barter juga pernah disampaikan secara lisan oleh almarhum Nurcholish Madjid. Secara praktis, jual-beli berdasarkan praktik barter di era modern ini juga pernah berlangsung di era pemerintahan B.J. Habibie pada pertukaran pe, sallalahu alayhi wa sallamat dengan sekian ton beras. Dengan demikian, pertukaran tersebut berlangsung secara adil antara harta dengan harta juga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Semoga kiprah Republika dalam penyelenggaraan zikir berjamaah dalam setiap malam tahun baru masehi dan pemuatan tulisan tentang dinar dan dirham tersebut berbuah pada kebangkitan umat Islam sebagai penganut mayoritas negeri ini. Acara dan pemuatan berita tentang kedua mata uang ini juga semoga dapat menyadarkan umat Islam dari berbagai konflik salah satunya pada angka 11 dan 20 rakaat pada salat tarawih namun kedua kubu tersebut membiarkan perbedaan angka 1 dolar AS pada tahun 1946 bernilai 2 rupiah dan kini menjadi sekitar 9000 rupiah yang membuat bangsa ini semakin terpuruk. Dalam perkembangan selanjutnya, Republika juga dapat menjadi 'penyambung lidah' Nabi Muhammad , sallalahu alayhi wa sallam.

Dibaca : 2244 kali


Bookmark and Share

lainnya
Index kategori : Artikel
Facebook   Twitter   Yahoo Group   You Tube   Baitul Mal Nusantara
© WAKALA INDUK NUSANTARA                                                                                                                        DISCLAIMER   SITEMAP   SITE INFO